4.

314 48 37
                                    

Selamat membaca, semuanya..
Jangan lupa untuk klik Vote dan penuhi Chapter ini dengan komentar 🫶

Hari mulai petang. Satu persatu pekerja mulai turun dari lantai 6 bangunan rumah sakit yang masih dalam pengerjaan. Menyisakan material pembangunan yang teronggok bisu dengan Jeno dan beberapa rekannya yang sedang bersiap untuk pulang.

Jeno masih diam di tempatnya. Menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala seperti efek domino. Salah satu rekannya bertanya, "Tidak turun?" Jeno hanya tersenyum, memperlihatkan mata sabitnya.

"Tidak usah difikirkan. Mandor Cho hanya sedang berada dalam suasana hati yang buruk." rekannya menepuk punggung Jeno lembut, lantas kembali berkata, "Setiap manusia dapat melakukan kesalahan. Itu sangat wajar. Tidak perlu merasa sedih."

Mandor Cho yang mengawasi para pekerja, memang sedang dalam suasana hati yang buruk. Seminggu kebelakang, sudah puluhan pekerjaan yang menjadi sasaran kemarahannya. Tanpa terkecuali, Jeno.

Tadi, ketika hari menjelang siang, Jeno tidak sengaja menjatuhkan semen hingga serbuknya tercecer. Entah mengapa akhir-akhir ini pundak kanannya terasa sangat nyeri, seperti ada ribuan jarum halus yang menusuknya. Mungkin itu karna Jeno terlalu sering menggunakan pundaknya untuk menggotong benda berat.

"Apa yang kamu lakukan?!" Mandor Cho berteriak marah ketika melihat Jeno mencangkul semen untuk ia masukan kedalam Ember.

Dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, Jeno jelas segera membereskan kekacauan yang ia buat. Dirinya gesit mencari ember dan cangkul untuk mengumpulkan kembali semen yang tercecer.

Sayangnya kesalahan yang Jeno buat, terdeteksi oleh Mandor Cho yang sedang marah. Itu cukup membuat Jeno terkejut, "A-aku tidak sengaja menjatuhkannya, Pak."

"Berkerja dengan benar! material-material ini mahal harganya! Harga total keseluruhannya bahkan bisa menghidupimu hingga bertahun-tahun!" Mandor Cho terus berteriak, tidak peduli dengan pekerja lain yang memperhatikan mereka.

Jeno hanya bisa menundukkan kepalanya. Rasa bersalah, terkejut, juga malu, menghantui dirinya. Belum lagi rasa sakit di pundaknya masih belum menghilang. Jeno ingin balas berteriak, sungguh. Namun jika Jeno melakukannya, ia akan merasa lebih buruk.

Ini hanya kesalahan kecil, namun mengapa Mandor Cho begitu marah? Bahkan, Semen yang tercecer ini masih bisa digunakan lagi. Jeno mengerti, mungkin Sang Mandor pun mengalami hal buruk beberapa hari kebelakang. Tapi, apa etis melampiaskan kemarah yang ia rasa pada orang lain? Jeno rasa, tidak.

"Aku turun lebih dulu." Rekannya berteriak di ujung tangga. Melambai pada Jeno tanpa membalikkan badannya.

Hanya tersisa Jeno di sana. Sendiri, kembali menatap lampu-lampu kota. Pikirannya berkelana pada masa lalu yang bahagia, ketika kedua orang tuanya masih berada disisinya. Meski hidup dalam kekurangan, Jeno tetap mendapatkan kasih sayang yang lebih. Yang membuat hidupnya terasa sempurna.

Jeno rindu Ayah, Jeno rindu Ibu.

Ketika otaknya kembali mencari memori lain, terselip di ingatannya ketika ia menghabiskan waktu bersama dengan Renjun. Ada tawa yang selalu Jeno bagi, ada kasih sayang yang Renjun beri.

Ahh Jeno pun merindukan lelakinya.

Kemana Renjun akhir-akhir ini yang jarang sekali menemuinya? Bahkan kemarin, ketika Renjun bertugas untuk mengecek lapangan, lelaki itu hanya pergi menemui Mandor Cho sebelum akhirnya pergi kembali, tanpa menyapa Jeno.

Jeno denger, lelaki Maret itu mendapatkan projek lain. Membuat rumah Kepala Daerah, jika Jeno tidak salah ingat. Mungkin saja itu yang membuat Renjun tidak pernah menemuinya dan sulit sekali dihubungi. Tidak apa, dunia tidak selalu berputar hanya pada dirinya. Benar bukan?

He's A Liar [Renno] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang