"Anggi, bangun kau!" Suara Mak Anggi berteriak memanggil dari dapur.
"Hm..." Anggi menggeliat di kasurnya, masih setengah sadar. Suara itu seperti gema yang samar-samar didengarnya.
"Anggi! Gak bangun juga kau!" Mak Anggi masuk ke kamar Anggi dengan wajah yang marah. Wajahnya memerah karena kesal, tapi ada kasih sayang di matanya.
"Jam berapa rupanya, Mak?" tanya Anggi yang mengucek matanya, untuk mencoba fokus.
"Udah jam 7 itu!" jawab Mak Anggi tegas.
"Aih, Mak! udah kesiangan aku!" Kenapa gak dibangunin dari tadi?" Anggi tergesa-gesa bangun dari kasur dan hatinya panik.
"Udah ku bangunin kau dari tadi, kau aja yang tidurnya kek kerbau," balas Mak Anggi dengan berkacak pinggang. Matanya memandang lekat ke arah Anggi yang masih terlihat setengah tidur.
Anggi bergegas menuju kamar mandi, bersiap untuk berangkat sekolah. Di dalam kamar mandi, ia menyiramkan air ke wajahnya, berharap bisa sepenuhnya terbangun dari kantuknya. Suara azan tiba-tiba terdengar, membuatnya berhenti sejenak.
"Allahuakbar, Allahuakbar..." suara azan menggema.
"Loh, kok ada suara azan, Mak? Anggi bingung. Ia segera keluar dari kamar mandi, masih dengan wajah setengah basah.
"Yah iya, udah waktu subuh, jadi yah azan," jawab Mak Anggi santai dan terus memasak di dapur.
"Hah? Subuh?" Anggi melirik jam dinding, jarum menunjukan angka lima. Rasa bingung dan kaget bercampur di wajahnya
"Mamak inilah, tega kali nipuin aku. Tadi bilang jam 7!" Anggi marah, tapi tidak bisa menahan senyum kecil di bibirnya.
"Sengaja mamak biar cepat kau siap-siap," jawab Mak Anggi santai dan masih memasak.
"Dah, shalat dulu sana. Jangan lupa kau bangunkan abangmu itu," tambahnya. Mak Anggi menatap Anggi dengan harapan agar anaknya bisa lebih disiplin. Dan ia juga berhenti dari aktivitas memasaknya itu.
"Iyah, Mak," sahut Anggi dan ia segera menuju kamar abangnya, ia ragu sejenak sebelum mengetuk pintu kamar itu.
"Bang, bangun kau. Shalat subuh dulu," Anggi membangunkan abangnya yang masih terlelap. Dengan mengetuk pintu kamar abangnya.
"Yah," sahut abang Anggi dan bangkit dari tempat tidurnya.
Setelah shalat subuh, Anggi kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Ia mengenakan seragamnya dengan cepat dan mengikat rambutnya dengan rapi.
<<<______>>>
"Anggi, yok berangkat!" panggil Ucok, teman Anggi dari luar rumah. Suaranya terdengar ceria dan penuh semangat.
"Iyah, sebentar, pake sepatu dulu aku," jawab Anggi yang mengikat tali sepatunya, dengan cepat.
"Eh, ada Ucok Siregar rupanya," Mak Anggi keluar dari rumah dan menyapa Ucok.
"Iyah, Mak," jawab Ucok sopan dengan senyum cerianya.
"Mak? Gak jualan hari ini?" sambungnya dengan bertanya.
"Sudah habis Ucok, dari jam 6 pagi tadi." Jawab Mak Anggi dengan ciri khas logat Medannya.
"Ah, tapi itu sudah jelas, nasi uduk Mak no 1 dikampung ini," sahut Ucok dengan pujian.
"Bisa saja Ucok memujinya," Mak tersenyum malu dengan pujian Ucok.
"Yok, Cok, berangkat kita. Mak, Anggi berangkat yah," Anggi berpamitan dengan tangan yang menjabat kedua tangan ibunya dengan penuh hormat.
Begitupun dengan Ucok yang ikut berpamitan, " Berangkat ke sekolah kami yah, Mak." Ucok membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat.
"Yah sudah, hati-hati," jawab Mak Anggi.
Anggi dan Ucok pergi berangkat ke sekolah bersama-sama dengan berjalan kaki, jarak antara rumah mereka ke sekolah berkisar 7 menit.
Mak Anggi yang matanya dari tadi mengikuti langkah mereka, yang semakin menjauh dari rumah. Ada perasaan bangga dan sedikit nostalgia di hatinya.
Mak Anggi menghela napas dan berkata, "Sudah besar saja mereka ini, padahal baru kemarin sekecil kacang ijo." Kenangan masa kecil anak-anak itu, kembali terlintas di benaknya.
"Mak, Agat berangkat yah," pamit Agat, abang Anggi, yang baru saja selesai bersiap-siap. Suaranya tenang tapi tegas.
"Iyah, hati-hati kau juga. Kuliah yang bagus-bagus, jangan banyak tingkah," pesan Mak dengan suara yang lembut, dan penuh kasih sayang.
"Iyah Mak, yaudah Agat berangkat. Assalamu'alaikum," pamit Agat dengan mencium kedua tangan ibunya. Ia melangkah keluar rumah dengan langkah pasti.
"Wa'alaikumsalam," jawab Mak Anggi. Matanya mengikuti langkah anaknya yang semakin menjauh.
Setelah anak-anaknya pergi, Mak Anggi masuk ke rumah dan memandang sebuah foto yang tergantung di dinding ruang tamu. Foto tersebut adalah foto keluarga, Mak Anggit memandang wajah ayah dari anak-anaknya itu.
"Lihat anak kita bang, tidak terasa sudah besar-besar mereka. Dan gak terasa juga, sudah lama kau pergi dari rumah ini," bisik Mak Anggi dengan mengusap foto itu. Air mata sedikit menggenang di sudut matanya, tapi senyumnya tetap bertahan di wajahnya.
Sementara di sekolah, Anggi dan Ucok memasuki gerbang sekolah dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Love In Medan
General FictionAnggi seorang pelajar SMA Medan Harapan kelas 12 menceritakan kisah kehidupan dari keluarga, pertemanan serta percintaan remaja nya dan cerita yang memiliki ciri khas bahasa/logat Medan ini. Akankah semua hubungan kisah kehidupan tersebut bahagia?