120. Adek Lon Sayang, Adek Lon Malang**

173 38 9
                                    

Flashback

Cut Sarah

Air matanya mengalir deras bak air bah. Mulutnya bergetar ketakutan sembari terus menggumamkan dzikir.

Ketika mobil mendadak berhenti. Lalu pria yang mengancam lehernya dengan belati menarik tubuhnya dengan kasar agar segera keluar dari mobil. Kemudian tiga pria sekaligus menyeret paksa dirinya memasuki sebuah rumah.

Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya melampiaskan amarah. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara lirih yang gemetaran sebab ketakutan.

"A-apa... y-yang... s-sedang... k-kalian... l-lakukan?"

"A-aku... t-tak... a-ada... s-salah... a-apapun!"

"DIAM!!" bentak pria yang menyeret lengan kanannya.

"Kau memang tak ada salah, cantik," seloroh pria yang berjalan paling depan. Mendadak membalikkan badan hanya untuk mencekik lehernya.

"Hanya ingin tahu..."

"Abang kau yang terkenal itu..."

"Yang sok jagoan..."

"Apa bisa menyelamatkan adik bidadarinya ini...," ucap pria tersebut sembari meludah ke sembarang arah.

"Dan Abang kau yang sok jago itu!" kini pria lain ikut mendesak ke arahnya dengan mata penuh amarah.

"Apa bisa melawan kami? Hahahaha..."

Lalu tubuhnya didorong ke sudut ruangan dengan kasar dengan membentur dinding. Dengan lima pria asing yang berdiri menjulang mengelilinginya.

"Cut Sarah...," pria bertubuh tegap yang tadi menyetir mobil menjadi orang pertama yang melangkah maju mendekatinya.

"Gadis secantik bidadari..."

"Kau milikku sekarang!"

Saat ini ia adalah domba lemah yang tersudutkan, rapuh, tak berdaya, sekaligus dicekam ketakutan.

Tengah menunggu datangnya algojo. Untuk menariknya memasuki masa paling kelam.

Dan ketika binatang buas lagi ganas, jelmaan iblis paling jahanam mulai menerkamnya.

Kelopaknya mendadak terpejam. Sementara deraian air mata penuh amarah campur kesedihan terus mengalir.

Bibirnya tiada henti memohon perlindungan. Menggumamkan kalimah suci meminta pembelaan.

Sementara benaknya dipenuhi oleh wajah almarhumah Ayah yang sedang tersenyum penuh keteduhan. Tengah mengajarinya membaca kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab.

Namun wajah teduh Ayah mendadak menghilang. Berganti dengan rasa sakit yang teramat sangat. Membuatnya berusaha menggelengkan kepala keras-keras. Tapi,

PLAK!

Rasa pedas dan sakit tiba-tiba mendera pipi kanannya.

"DIAM!" teriak binatang buas yang kini tengah menguasai dirinya.

"JANGAN RUSAK KESENANGANKU DENGAN TANGISMU!"

Ia domba terluka sekarang. Sakit, pedih, dan terhina.

Ia hanya bisa memejamkan mata erat-erat. Tak sudi menyaksikan kebejatan para binatang berwujud manusia yang sedang menggagahinya.

Lalu sebuah bayangan lain kembali memenuhi benaknya. Mengisi relung hati dengan segenap rasa.

"Kaleu pajoh bu (sudah makan belum)?" menjadi pertanyaan yang paling sering Mamak lontarkan.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang