Semua tamu undangan setuju bahwa pengantin yang saat ini sedang duduk di pelaminan itu begitu serasi. Hinata dengan kimono pengantin putihnya, duduk menunduk. Wajahnya bahkan tertutup tudung putih karena menunduk terlalu dalam. Neji dengan kimono hitamnya duduk bersila. Tampak gagah, memberikan senyuman dan anggukan kepala pada para tamu walau pun pipinya bersemu merah.
"Mereka tampak malu-malu. Apa mungkin karena dijodohkan?" Tanya Kurenai, salah satu tamu undangan kepada Hiashi, ayah sang menpelai wanita.
Hiashi tertawa,"Hem, mereka sudah lama saling mengenal. Mungkin awalnya malu-malu. Tapi lihat saja nanti di malam penyempurnaan pernikahan."
Tawa meledak setelah mendengar penuturan Hiashi.
Dan memang malam penyempurnaan pernikahan terjadi di malam itu juga. Selepas tetek bengek upacara awal di kamar pengantin. Keduanya bergumul di atas ranjang.
Hinata menjerit karena penetrasi yang kurang. Neji menyentuh sesuai dengan arahan yang sebelumnya diberikan oleh tetua. Tak ada romansa sedikit pun di malam itu. Semua hanyalah bentuk kewajiban. Bakti kepada orang tua dan pernikahan.
Hingga kabar hamilnya Hinata dikonfirmasi satu bulan kemudian, Hiashi merasa lega, menepuk-nepuk pundak Neji,"Bagus. Kalian akan menurunkan darah klan Hyuga murni. Anak kalian akan jadi penerus klan."
"Terima kasih, Ayah," Neji bersujud.
Hiashi tertawa lega. Dia menoleh pada Hinata dan berkata,"Hinata, jaga kandunganmu." Lalu dia pergi meninggalkan suami istri itu.
Neji pun mendekati Hinata. Dia merangkul istrinya lalu mengusap-usap perut istrinya. "Terima kasih, Hime."
Hinata mengangguk lemah. Neji mencium pipinya. "Aku sangat mencintaimu."
Hati Hinata meleleh. Senyum tipis tampak di wajahnya.
---*---
"Nagasaki sudah banyak berubah dari sebelumnya," kata pria berambut blonde itu.
Neji yang membersamainya dalam jalan-jalannya di pusat keramaian kota kali ini menjawab,"Terakhir kau ke sini sepuluh tahun yang lalu. Tentu saja sangat banyak berubah."
"Ya, tentu saja. Bukan kota yang berubah. Kau juga."
"Apanya yang berubah dariku, Naruto. Selain aku sudah menikah. Iya kan, sayang."
Neji menoleh pada istrinya yang ada di belakangnya. Hinata yang berjalan di belakangnya bersama pelayan mengangguk.
Naruto tersenyum. "Oke, Kau memang pria yang beruntung, Neji. Istrimu sangat manis." Dia mengatakan itu sambil mengerling nakal.
Hinata tersenyum tipis.
Ketiganya meneruskan perjalanan lagi.
Naruto adalah tamu Neji. Dia teman Neji saat Neji kuliah di London. Sifatnya yang konyol dan ceria membuat ruang tengah kediaman Hyuga senantiasa ramai, terutama saat makan malam. Hinata kadang meliriknya. Dia tersenyum dan mrmberikan kedipan mata. Hinata menunduk malu sambil mengelus perutnya.
Di lain waktu, Hinata menjemur pakaian. Neji dan Naruto duduk di teras belakang, membicarakan sesuatu. Hinata menoleh namun yang diperhatikan bukanlah suaminya, melainkan Naruto.
"Hinata, ambilkan bubuk matchanya. Ternyata habis."
"Ah, Neji. Kau tak lihat istrimu belum selesai menjemur pakaian? Kenapa tidak kau ambil sendiri?"
"Masalahnya aku tidak tahu tempatnya. Hinata. Ayolah."
Hinata menaruh pakaian yang sudah diperasnya di ember lagi lalu berjalan pergi menuju dapur. Naruto mengamatinya sampai sosoknya menghilang di balik pintu dapur lalu menoleh pada Neji.
"Aku bertanya-tanya kemana perginya kemandirianmu ketika di London dulu, Neji?"
"Lenyap dimanjakan oleh budaya patriarkhi negeri ini."
Neji tertawa
Naruto mendesah.
Keduanya terdiam melihat Hinata yang mendekat lalu duduk bersimpuh di depan mereka dan meletakkan wadah serbuk matcha di meja.
"Oke, racikkan sekalian, Sayang."
"Ah, biar aku saja. Aku juga bisa."
Naruto langsung memegang wadah matcha itu. Hinata juga memegangnya karena berniat melakukan perintah Neji. Kedua tangan akhirnya bersentuhan. Warna tan kulit tangan Naruto tampak kontras di atas warna putih mulus kulit tangan Hinata. Getaran aneh menelusupi hati keduanya.
Sentuhan itu adalah sentuhan awal mereka. Melambungkan angan indah di antara keduanya. Entah bagaimana ceritanya hingga ada sentuhan tangan yang lain. Walau pun itu hanya disekat oleh kertas di pintu geser, cukup menggetarkan perasaan mereka.
Hingga tangan mereka bisa saling menggenggam. Bahkan lebih dari itu, sentuhan di bagian tubuh yang lain membuat keduanya terlena. Mereka berpeluh dalam desiran kasih sayang dan panasnya suasana pertemuan sembunyi-sembunyi mereka.
Hinata menggeliat dengan dada membusung dan perut buncitnya. Mendesah sebagai tanda puas atas keintiman yang diberikan Naruto. Keintiman yang diakhiri oleh kecupan di dahi Hinata. Menggetarkan kasih sayang Naruto yang teramat sangat.
"Oh, aku menghianati sahabatku. Katakan apa yang harus kulakukan, Sayang?" desah Naruto sambil mengelus pipi Hinata.
Hinata tersenyum tipis. Namun pandangan matanya tampak bahagia.
"Kenapa kau diam saja? Katakan apa yang harus kulakukan?"
Hinata malah memejamkan matanya. Naruto tersenyum. Dia memeluk Hinata begitu eratnya.
Dan Naruto pun harus kembali ke negaranya. Hinata merana. Kerinduannya tak terbendung. Hingga dia melahirkan anak Neji, hatinya perih merindukan Naruto.
"Eeeennnggghhhhh...hu..hu..hu.."
Tangisannya disebabkan oleh rasa sakit dan kekecewaan. Semangatnya menipis karena kerinduan. Dan dia harus terus meneran demi kelahiran bayinya. Keturunan murni Hyuga yang diidamkan oleh ayahnya.
Dan akhirnya anak itu terlahir sudah. Tangisannya membuat Neji, Hiashi dan para tetua yang menunggu di lorong depan kamar bersorak. Bidan pun keluar kamar, menyuruh Neji menemui Hinata setelah Hinata dan bayinya siap ditemui.
Neji memasuki kamar itu. Dia duduk di samping futon, menatap Hinata yang sedang menyusui bayi mereka. Hatinya terharu menatap sosok bayi itu. Sosok yang menunjukkan bahwa bayi itu memang anak mereka berdua.
Neji mencubit pipi bayi itu. Kulit halus terasa di jemarinya. Dia juga mengelus dahi Hinata,"Terima kasih, Sayang."
Neji mencium dahi dan juga mata Hinata. Hinata memberikan senyuman tipis seperti biasanya. Neji tersenyum juga sebagai balasannya.
The End
Cast :
Hinata
Naruto
Neji
Hiashi
Kurenai
