1 • Kehidupan Baru, Awal Baru

37 12 2
                                    

Karakter, latar, dan alur cerita dalam karya ini adalah hasil imajinasi penulis. Meskipun mungkin terinspirasi dari peristiwa nyata, tidak ada niatan untuk menggambarkan orang, tempat, atau kejadian tertentu secara akurat. Cerita ini ditujukan untuk hiburan semata.

• • •


Matahari pagi desa menyelinap melalui jendela kamar Jocelyn, membangunkannya dari tidur. Ini hari pertamanya di sekolah desa, sebuah awal baru yang dipaksakan oleh penyakit misterius yang mengancam hidupnya. Jocelyn, gadis kota yang ceria dan penuh semangat, harus meninggalkan hiruk-pikuk Jakarta dan pindah ke desa terpencil ini demi pengobatan alternatif yang direkomendasikan oleh seorang dokter spesialis.

"Jocelyn, ayo sarapan!" suara lembut ibunya dari dapur membuyarkan lamunannya.

Jocelyn bangkit dari tempat tidur, mengenakan seragam sekolah barunya yang terasa asing. Rok panjang dan kemeja putih polos ini jauh berbeda dari seragam modis yang biasa ia kenakan di sekolah lamanya. Ia menghela napas, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan barunya.

Setelah sarapan, Jocelyn diantar ayahnya ke sekolah. SMA Nusa Harapan, begitulah nama sekolah barunya. Bangunannya sederhana, dikelilingi sawah hijau yang membentang luas. Jocelyn merasa seperti berada di dunia yang berbeda.

Bel masuk berbunyi, Jocelyn memasuki kelas barunya. Semua mata tertuju padanya. Ia merasa canggung dan gugup.

"Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru. Silakan perkenalkan dirimu," kata Bu Guru Ratih, wali kelas Jocelyn.

Jocelyn maju ke depan kelas, jantungnya berdegup kencang. "Selamat pagi semuanya. Nama saya Jocelyn. Saya pindahan dari Jakarta. Senang bertemu dengan kalian semua."

Jocelyn mencoba tersenyum, tetapi ia merasa seperti alien di antara teman-teman barunya. Mereka menatapnya dengan tatapan penasaran dan sedikit curiga. Setelah perkenalan singkat, Jocelyn duduk di bangku yang kosong. Ia merasa sendiri dan terasing.

Pelajaran dimulai, Jocelyn berusaha berkonsentrasi, tetapi pikirannya melayang ke teman-teman lamanya di Jakarta. Ia merindukan kehidupan lamanya, kafe-kafe trendi, mal-mal mewah, dan semua kesenangan kota besar.

Saat jam istirahat, Jocelyn duduk sendirian di kantin sekolah. Ia mengamati teman-teman sekelasnya yang asyik mengobrol dan tertawa bersama. Jocelyn merasa seperti orang asing yang tidak diterima.

Tiba-tiba, seorang gadis berambut panjang menghampiri Jocelyn. "Hai, Jocelyn. Boleh aku duduk di sini?" tanyanya ramah.

Jocelyn mengangguk, merasa sedikit lega. "Namaku Sarah," gadis itu memperkenalkan diri. "Aku ketua kelas. Selamat datang di SMA Nusa Harapan."

Sarah mulai mengajak Jocelyn mengobrol. Ia bercerita tentang sekolah, guru-guru, dan kegiatan ekstrakurikuler. Jocelyn merasa sedikit lebih nyaman.

"Kamu suka pelajaran apa, Jocelyn?" tanya Sarah.

"Aku suka bahasa Inggris dan seni," jawab Jocelyn.

"Wah, sama dong! Kita bisa belajar bareng nanti," kata Sarah antusias.

Jocelyn tersenyum. Mungkin kehidupan barunya di desa ini tidak seburuk yang ia bayangkan. Setidaknya, ia sudah menemukan satu teman.

Setelah jam pelajaran selesai, Jocelyn berjalan pulang sendirian. Ia melewati jalan setapak yang dikelilingi sawah hijau. Udara segar desa membuat Jocelyn merasa lebih tenang. Ia mulai menikmati pemandangan indah di sekitarnya.

Tiba-tiba, Jocelyn tersandung batu dan terjatuh. Lututnya terluka dan berdarah. Ia meringis kesakitan.

"Aduh!" Jocelyn mencoba berdiri, tetapi lututnya terasa sakit sekali.

Seorang pemuda yang sedang melintas melihat Jocelyn terjatuh. Ia segera menghampiri Jocelyn dan membantunya berdiri. Jocelyn tertegun melihat mata yang bulat indah, rambut yang rapi, dan kulit putih sang pemuda.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pemuda itu dengan nada khawatir.

Jocelyn menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Ayo, aku antar kamu pulang," kata pemuda itu sambil membantu Jocelyn berjalan.

Jocelyn tidak menolak. Ia merasa bersyukur ada yang membantunya.

Sepanjang jalan, mereka bertukar cerita. Jocelyn bercerita tentang kepindahannya dari Jakarta, sementara pemuda itu berbagi tentang kehidupan di desa. Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Jocelyn.

"Ini rumahmu?" tanya pemuda itu, sedikit terkejut.

Jocelyn mengangguk, "Iya, benar. Terima kasih banyak."

"Wah, ternyata kita tetanggaan," pemuda itu tersenyum lebar. "Aku baru sadar. Aku Jason, senang bisa mengenalmu."

"Aku Jocelyn," balas Jocelyn, sama terkejutnya. Ia tidak menyangka pemuda yang menolongnya adalah tetangganya sendiri. Mungkin desa ini akan menjadi tempat yang nyaman untuknya.

Jason pamit pulang, meninggalkan Jocelyn yang merasa sedikit lebih baik. Mungkin desa ini tidak seburuk yang ia bayangkan. Setidaknya, ia sudah menemukan dua orang yang baik hati.

Dying WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang