"RAYA! Bangun!"
Suara teriakan disertai gedoran pintu membuat sang empu nama berdecak, bantal yang di gunakan sebagai penutup telinga nyatanya tak meredam suara toa dari luar.
"Raya?! Jangan mentang-mentang sekarang minggu, elo enak-enakan tidur. Bangun buru!"
Ya Tuhan. Dirinya baru bisa tidur jam empat pagi dan disaat matahari belum muncul, cewek minim akhlak yang sayangnya sahabatnya udah gedor-gedor.
"Gue gak akan berhenti sebelum lo buka kamar, lagian sejak kapan sih kamar di kunci? Bukaaaaa!"
Dor... Dor... Dor
Cukup sudah. Kiraya lantas melempar asal bantalnya lalu beranjak membuka kunci. Tanpa membuka pintu, dirinya kembali merebahkan diri, telungkup.
Suara pintu dibuka tak membuat Kiraya mengubah posisi. Matanya sungguh berat.
Sementara Kanaya geleng-geleng melihat sekeliling kamar yang tidak menyerupai kamar.
Kertas, wadah cat, kuas, gunting bahkan masih banyak barang lagi berserakan di lantai. Kibaran tirai dari arah balkon membuat Kanaya mengernyitkan dahi, jam segini ngga mungkin angin sekencang itu kan.
Dirinya mendekat, dahinya semakin mengerut melihat jejeran benda berukir di atas meja panjang bersusun. Di sudut balkon, terdapat dua kipas yang dinyalakan.
"Lo ngapain ngerjain sebanyak ini? Ini bukan kegiatan sekolah kan?"
Kiraya mengubah posisinya menjadi telentang, berbantalkan tangan yang dilipat. "Emang bukan."
"Terus?"
"Gue kerja. Ah.. bukan, tepatnya gue menawarkan diri buat bikin plat itu. Daripada sekolah pesen ke tukang lain, kenapa ngga gue coba aja. Lumayan dapet duit." Jelas Kiraya.
Kanaya menyipitkan mata. "Lo kekurangan duit? Om Kailan ga ngasih duit?" Cercanya langsung.
"Ayah masih kasih uang, tapi gue pake buat keperluan sekolah. Untuk keperluan yang berkaitan mahat, gue pake punya sendiri. Ngga mungkin gue pake punya ayah."
Kanaya memberikan tatapan yang sangat dipahami artinya oleh Kiraya, dan dia benci itu. "Tapi kan lo masih sekolah, gimana sama waktu istirahat lo? Apalagi bentar lagi ujian."
Kiraya mendengarkan tanpa memberi jawaban.
"Pokoknya kalo ada apa-apa, lo harus kasih tau gue. Gue janji bakal selalu ada di samping lo." Tandas Kanaya tak mau di bantah.
"Jangan mudah menjanjikan sesuatu yang belum pasti Nay," Kiraya menatap lamat langit-langit kamar. "Karena perasaan seseorang bisa berubah setiap waktunya."
"Itu orang lain, not me. Gue ngga akan biarin lo kesusahan sendiri." Kanaya menatap penuh tekad ke arah Kiraya yang hanya mengulas senyum kecil.
Sudah lelah Kiraya dijanjikan banyak hal namun pada akhirnya di ingkari. Darah yang lebih kental daripada air pun bisa menyakiti hatinya luar biasa, apalagi yang tidak memiliki hubungan darah?
Terkadang sebersit pikiran picik hinggap di kepalanya, bertahun-tahun mereka bersama dan saling mengasihi tanpa ada pertengkaran berarti.
Apakah suatu hari nanti mereka akan berselisih paham yang membuat mereka saling menjauh? Apakah ada saatnya mereka saling memunggungi satu sama lain?
Jalan yang terlihat halus tanpa gelombang nyatanya jauh lebih membahayakan.
Dan dia memercayai satu hal, pasti ada pelajaran yang akan dia lalui dan di dapat ketika dia mengenal seseorang. Siapapun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluviophilia (HIATUS)
ChickLitCerita ini hiatus dulu yaaaa... Mau tamatin satu-satu dulu Kiraya, seorang cewek yang berjuang untuk mimpinya dikala mendapat pertentangan dari sang ayah. Ketika hati sang ayah mulai tergerak, sayangnya takdir tak mengijinkan semudah itu. Dia telah...