166. Too Much Love (2)

355 50 8
                                    

Karina

"Abang?!?" ia tersentak kaget. Ketika Jefan dalam hitungan detik, telah berhasil memposisikan mereka berdua menjadi begitu dekat.

"Abang, ih!!" ia memukuli dada Jefan yang justru terkekeh-kekeh dengan memasang ekspresi wajah menggoda.

"Kenapa nggak bilang dari tadi pagi kalau udah beres sih, Neng?" gumam Jefan sembari menyembunyikan wajah dalam-dalam di sepanjang lehernya. 

"Ish!" namun ia masih berusaha memberontak.

"Abang!!" gerutunya yang tengah bekerja keras meloloskan tangan dari himpitan dada Jefan.

"Nanti Aran lihat!" kali ini tangannya telah terbebas lalu buru-buru memukuli bahu Jefan.

"Aran masih melotot tuh!! Nanti kalau dia lihat ayah bundanya lagi begini... aduuhhh, Abang!!" ia semakin kesal, karena kini Jefan tak hanya menyembunyikan wajah tapi juga mencecapi lehernya.

"Mau main rahasia-rahasiaan heh?" gumam Jefan dengan bibir menempel di sepanjang lehernya.

"Issshhh!!" ia berusaha menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri agar Jefan beranjak. Tapi yang ada justru kian menempel erat.

"Rahasia-rahasiaan gimana?!" sungutnya dengan napas memburu. Mau tak mau mengakui jika ia kalah daya dibandingkan cengkeraman Jefan.

"Abang tahu sendiri tadi aku sholat Subuh! Terus ikut sholat Id! Gimana sih?!?" salaknya sebal atas ketakpekaan Jefan.

Tiba-tiba saja Jefan mengangkat wajah dari lehernya. Lalu tertawa bingung, "Oh, iya ya? Kenapa aku nggak nyadar?" 

"Ish!" ia kembali memukul dada Jefan.

"Awas ah! Itu Aran bisa lihat Ayahnya lagi berbuat tak senonoh tuh!!!" gerutunya sambil menunjuk ke arah Aran yang sedang membelalakkan mata dan bermain-main dengan lidahnya sendiri.

Tapi Jefan justru terkekeh. Dengan gerakan yang sangat halus, Jefan meraih guling yang berada di samping kiri mereka. Lalu meletakkan guling tersebut di antara tubuhnya dan Aran. Memposisikan sedemikian rupa agar ia bisa terlindung dari pandangan mata Aran.

"Sekarang amaaan....," seloroh Jefan seraya mengedipkan sebelah mata. Ish!

Dan sebelum ia sempat melancarkan protes, Jefan telah lebih dulu menggapai wajahnya dengan sentuhan hangat nan lembut, dalam, sekaligus melenakan.

Entah berapa lama. Terasa lama sekali sampai ia hampir kehabisan napas. Barulah Jefan bersedia melepaskan diri.

Lalu Jefan tersenyum menatapnya. Dengan kening mereka berdua yang saling bersentuhan.

Sedangkan ia masih kerepotan mengatur napas, yang seolah terus berkejaran.

"Aku cinta kamu," bisik Jefan seraya menyunggingkan senyum penuh arti.

"Iya, tahu," ia menjawab sekenanya. Sebab masih bersusah payah menormalkan napas yang memburu.

"Aku sayang kamu," bisik Jefan lagi.

"Tahuuuu," ia mendecak sebal. Karena Jefan kembali mengatakan hal-hal yang sudah pernah didengarnya.

Kini Jefan tak lagi menyentuhkan kening mereka berdua. Namun masih dengan bertumpu pada kedua lengan yang mengungkung tubuhnya, Jefan kembali tersenyum penuh arti.

"Aku udah pernah bilang belum, kalau aku beruntung memiliki kalian berdua?"

Ia tak menjawab. Karena telah tersihir oleh tatapan mata Jefan yang melangutkan jiwa. 

Kini Jefan mengusap pipinya melalui ujung jari, "Cantik, baik, lembut, dari keluarga terhormat...."

"Bisa jatuh ke pelukan orang yang nggak punya apa-apa, keturunan pengkhianat negara, bermasa depan suram...."

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang