175. Life Must Go On (2)

233 41 0
                                    

Jefan

"Sekarang jadi tahu nih," seloroh Reges yang mulutnya sedang penuh mengunyah makanan. "Siapa yang dituju kalau mau makan enak."

"SETUJUUU!" seru Mario dengan mulut yang tak kalah penuh.

"Ampun deh, ngegas!" kini giliran Flacynthia yang menggerutu sambil mengibaskan tangan. Sebab beberapa butir nasi menyembur dari mulut Mario saat berteriak barusan.

"Mantul pastinya!" Adit ikut menambahkan. "Sikat!"

Sementara anak-anak anggota keluarga 151 yang tengah lahap menyantap makanan, kompak mengacungkan jempol tanda setuju ke arahnya.

Ia hanya tertawa.

Siang ini, seluruh anggota keluarga 151 sedang berkumpul di gazebo tempat kost Adit. Kebetulan yang menyenangkan. Sebab, bekal makanan dari Mamak dan Mama Karina jadi tak mubazir. Langsung licin tandas dilahap manusia-manusia kelaparan usai kuliah di siang hari bolong.

"Sering-sering ya, Jefan," Saliha yang terkenal paling kalem di antara anak 151, rupanya bisa berseloroh juga.

Sambil menyantap makanan, mereka membicarakan tentang teknis pelaksanaan baksos (bakti sosial). Yang idenya tercetus sejak acara open house unit beberapa waktu lalu.

Namun ia tak bisa berbincang lama. Sebab harus segera menuju Magna untuk mengajar.

"Kang, apa saya bisa mengajukan perubahan jam mengajar?" tanyanya pada Lukman usai kelas terakhir yang diampu bubar.

"Atau dipadatkan di hari tertentu. Jadi saya bisa ambil libur."

Sebab kuliah sudah memasuki masa pertengahan. Hampir setiap hari, kelas diawali dengan mengerjakan kuis terlebih dahulu. Belum mengerjakan laprak (laporan praktikum) dan tugas individual.

Sementara ia hampir tak memiliki kesempatan untuk belajar. Malam hari sepulang dari Magna, inginnya langsung istirahat. Padahal ia tentu tak boleh terlalu percaya diri dengan tidak belajar materi kuliah sama sekali. Masa TDB jelas masa paling krusial.

"Bisa," Lukman mengiyakan. "Coba hubungi Fahmi di bagian akademik untuk reschedule."

"Oya, waktu ujian juga, kamu ada dispensasi ambil cuti. Tolong ingatkan ke Fahmi sekalian."

"Makasih, Kang."

Sepulang dari Magna, ia menurunkan barang-barang pemberian Mama Karina terlebih dahulu.

"Eleuh... Den?" Teh Juju terkejut melihat banyaknya kardus yang diturunkan.

"Ini teh makanan semua?"

Ia tertawa, "Mungkin, Teh. Mama yang bawain."

Lalu dengan sigap, Teh Juju dan Mang Ujang membantunya membereskan barang bawaan.

"Gusti...," Teh Juju menggelengkan kepala ketika memeriksa isi salah satu kardus.

"Ibu kalau bawain makanan pasti sebanyak ini."

"Padahal yang kemarin juga belum habis."

Ia tersenyum, "Bawa pulang ke rumah Teh Juju sebagian, buat bagi-bagi ke tetangga. Biar nggak mubazir."

Tapi Teh Juju tak menjawab. Karena sedang sibuk memeriksa isi kardus yang berikutnya.

Begitu masuk ke kamar, barulah ia bisa menelepon Karina. Namun panggilannya tak kunjung diangkat. Mungkin karena Karina sudah tertidur. Kelelahan usai seharian beraktivitas.

"Kita ketemu dalam mimpi ya, Neng," gumamnya dengan senyum di kulum karena merasa geli. Lalu mengirim voice note tersebut pada Karina.

Sambil meluruskan punggung di atas tempat tidur, ia membuka kembali buku bersampul merah pemberian Mamak.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang