Karina
Sudah dua hari Aran demam. Selama itu pula panas tubuh si pipi bulat naik turun tidak stabil, rewel, menangis sepanjang malam, sampai enggan untuk menyantap ASI.
Padahal ia sedang menjalani UAS (Ujian Akhir Semester). Begitupula Jefan. Demamnya Aran benar-benar membuat dunia jungkir balik tak karuan.
"Sudah, kamu konsentrasi ujian saja," begitu Mama selalu menenangkan.
Memintanya untuk istirahat dan belajar. Agar tak terlalu mengkhawatirkan Aran. Sebab, bayi montok kesayangan semua orang itu, sudah dijaga dengan sangat baik oleh Mama dan Teh Cucun secara bergantian.
"Aran sudah minum obat penurun panas," terang Mama.
"Sudah dibalur sama minyak telon campur bawang merah juga."
"Suhunya sudah mulai turun."
"Minum ASIP nya juga makin pinter."
Mama bahkan memintanya untuk pindah tidur ke kamar tamu. Agar bisa lebih berkonsentrasi dalam belajar.
"Nggak dibawa ke rumah sakit aja, Ma?" tanyanya khawatir.
Sebab baru kali ini Aran mengalami panas tinggi sampai dua hari. Biasanya hanya demam biasa karena pilek atau usai divaksin. Itu pun tak lama. Esok paginya Aran sudah ceria dan bermain-main lagi.
Tapi tadi sore, suhu tubuh Aran bahkan mencapai 39,2 derajat Celcius. Dan ini membuatnya kian khawatir. Sebab takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Besok kita ke dokter," Mama mengiyakan.
"Sekalian cek lab."
Tapi sejurus kemudian Mama mengusap bahunya lembut, "Aran sakit kangen, Rin."
Ia mengernyit tak mengerti.
"Kemarin Aran demam pas habis Jefan pulang ke Bandung," Mama tersenyum.
"Aran sedih karena ditinggal ayahnya."
***
Jefan
Ia baru pulang dari kampus, ketika Karina menelepon dengan suara hampir menangis.
"Aran demamnya masih tinggi, Bang. Ini kita lagi cek lab yang kedua."
Sore itu juga ia pulang ke Jakarta menggunakan kereta api. Dengan harapan sepanjang perjalanan bisa tertidur nyenyak.
Begitu tiba di rumah Jakarta, ia mendapati Aran sedang menangis menjerit-jerit dalam buaian Karina yang berwajah kebingungan.
"Aran kenapa sayang?"
"Ehek... ehek... ehek"
Aran tak lagi menjerit, tapi terus merengek semalaman. Meski ia telah memeluk Aran dalam posisi skin to skin.
"Panasnya untuk ayah saja," bisiknya berulang kali ke telinga Aran. Yang sepanjang malam selalu gelisah dan terus terbangun.
Menjelang dini hari, barulah Aran bisa terlelap dengan nyaman.
Setelah menidurkan Aran di dalam box, ia menyempatkan diri untuk mencium kening Karina. Yang tertidur sambil mendekap buku tebal berjudul Anatomi Kedokteran.
Sambil menguap, ia duduk di meja belajar. Mengambil bundel soal Kalkulus yang sengaja dibawa. Lalu mencoba mengerjakan latihan soal essay.
Tapi yang ada justru ia tertidur di atas meja saking ngantuknya.
Dan tersentak kaget saat mendengar alarm ponsel berbunyi nyaring.
02.45 AM.
- - - - - - -
Ia naik travel di jam keberangkatan 03.45 WIB. Sebab ujian Kalkulus dimulai pada pukul 8 tepat.
Sepanjang perjalanan Jakarta-Bandung, ia lalui dengan tidur nyenyak. Dan baru terbangun setelah diingatkan oleh driver, jika mereka telah keluar dari GT Pasteur.
Dari Pasteur ia naik ojek pangkalan sampai ke rumah. Berbenah sebentar. Tanpa sempat sarapan sudah kembali meluncur menuju ke kampus.
Tapi di jalan ia benar-benar tak bisa berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi oleh banyak hal. Antara khawatir terlambat sampai di kampus, merasa tak siap ujian sebab belum belajar Kalkulus, sekaligus memikirkan Aran. Yang ketika ia pergi kembali menangis kencang.
Sebenarnya ia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Tapi dengan terburu-buru dan tak fokus. Benar-benar tak bisa menghindar ketika sebuah mobil tiba-tiba memutar balik di persimpangan.
BRAKKK!!!
Ia berusaha mengerem semaksimal mungkin. Tapi sudah terlanjur menabrak bagian samping mobil. Menghantam spion hingga patah dan pecah.
Ia ingin berdiri. Tapi kedua lutut terasa lemas seakan tak bertulang.
Sementara hidungnya mulai mengeluarkan cairan, yang terasa anyir di mulut.
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.