Beberapa hari telah berlalu. Hanny dan Jansen memang masih sering bertemu. Hanya saja, hingga saat ini mereka berdua belum memutuskan untuk kembali bersama karena mereka merasa lebih tenang dengan status mereka sekarang.
Jansen juga terlihat selalu menjaga Hanny dengan baik. Mereka berdua mengalami benturan ini karena dulu mereka terlalu cepat mengambil keputusan untuk bersama. Padahal, mereka belum lama dekat.
Lebih saling memahami seperti saat ini nyatanya lebih ampuh untuk mereka. Mereka berdua jadi jarang bertengkar dan bisa lebih saling memahami satu sama lain.
Hari ini, Jansen memutuskan untuk berkunjung ke rumah Hanny. Nazar sendiri sudah tidak terlalu keras padanya karena ayah kandung Hanny itu sudah mengetahui jika mereka berdua telah berpisah.
Hanya saja, Nazar tetap mengawasi setiap kali Jansen datang ke rumah. Hanny sendiri sebenarnya keheranan, kenapa ayahnya bisa sampai berubah sedrastis ini. Apa memang karena status mereka yang sudah putus? Atau, ada faktor lain?
Hanny dan Jansen tampak sedang duduk di teras rumah. Beberapa kali, Hanny sempat mencuri-curi pandang pada Jansen karena pria itu hanya terdiam tanpa bersuara.
Sesaat kemudian, Jansen mulai menyadari gerak-gerik dari mantan kekasihnya tersebut. Ia lantas menoleh ke arah Hanny sembari memberikan senyuman tertulusnya.
“Kenapa?” tanya Jansen.
“Kamu yang kenapa? Bukan aku,” tangkas Hanny sembari mengerutkan dahinya.
“Saya baik-baik saja. Kamu juga bisa lihat sendiri,” beritahu Jansen dengan santai.
“Justru, karena kamu terlalu baik-baik aja, makanya aku jadi khawatir!”
Jansen lantas terkekeh pelan setelah ia mendengar Hanny menggerutu.
“Emang, kamu gak sadar kalo akhir-akhir ini Papa aku terlalu ngebiarin kita?” tanya Hanny lagi dengan sedikit pelan.
“Beliau ayahmu. Kenapa tanya saya?”
Hih, ucapan Jansen ini sungguh tidak membantu. Tapi, perkataan Jansen juga tidak salah. Seharusnya, Hanny lebih mengetahui perihal perubahan sikap ayahnya tersebut.
“Masa, sih, denger kabar kita putus bakal bikin Papa aku jadi setenang ini?” Hanny kembali melontarkan protesnya.
“Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting, kita berdua masih bisa bertemu seperti saat ini,” terang Jansen dengan singkat.
Hanny kembali terdiam seraya memalingkan wajahnya. Sampai pada akhirnya, suara azan magrib berkumandang.
“Masuklah, sudah magrib,” titah Jansen pada Hanny.
“Terus, kamu mau pulang?” protes Hanny lagi karena sesungguhnya ia belum rela ditinggal pulang.
Jansen menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. “Saya mau ke suatu tempat dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULMATE : Our Story
RomanceDeskripsi nyusul, yaa.. intinya ini kisah nyata dan aku berkolaborasi dengan adik iparku.