13

47 2 0
                                    

Alaska merasa bingung dan terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan tegas Kanaya. Matanya melihat ke dalam, berusaha mencari jawaban yang sesuai dengan perasaannya saat ini.

Kanaya menatap Alaska, menunggu jawaban dari suaminya.

Akhirnya, setelah cukup lama laki-lali itu diam, Kanaya tahu siapa yang Alaska pilih.

"Saya tahu siapa yang kamu pilih," ujar Kanaya.

Alaska merasakan keputusasaan dalam kata-kata Kanaya. Namun, dia tidak bisa bohong.

"Demi kejujuran, Alaska," kata Kanaya dengan suara lembut. "Aku cuma mau memastikan antara kami siapa yang kamu pilih."

Alaska menatap Kanaya. Dalam kejujuran yang pahit. Jika dia harus memilih, pria itu akan memilih Arini. Seandainya dia mengatakan langsung, Kanaya pasti merasakan kepedihan yang mendalam. Mungkin, hatinya akan hancur berkeping-keping.

"Sudahlah. Siapa pun itu, saya akan tetap dengan kamu dan saya janji nggak akan selingkuh."

Kanaya menggeleng. Mungkin ini adalah saatnya mereka berdua mencari kebahagiaan dan kejelasan masing-masing. Dia tidak mau menangis, saat sadar betul telah hidup bersama dengan laki-laki yang tidak mencintainya.

"Jangan berjanji. Saya tahu betapa beratnya hatimu untuk melepaskan Arini. Jadi ...." Kanaya menggantung ucapannya sejenak. "Biar saya yang mengalah kali ini."

Alaska diam membisu, dan wajahnya mulai pucat.

"Saya nggak mau kamu tersiksa dan saya nggak mau suatu saat nanti kamu nggak tahan dan akhirnya malah berzina." Kanaya menatap Alaska. "Kita akhiri pernikahan ini. Kamu akan tetap membantu perusahaan papa sebagaimana kerja sama profesional dan ... saya nggak akan membicarakan soal Arini."

Alaska mendengkus. "Sudahlah, jangan konyol. Apa masih belum cukup dengan anugerah hidupmu?"

"Kamu kaya raya, kamu cantik, dan kamu sah menjadi istriku. Apalagi yang kurang?" tanya Alaska.

"Kalau begitu, kenapa saya nggak bisa memilikimu?" balas Kanaya.

Alaska diam.

"Kenapa kamu memilih Arini?" tanya perempuan itu sekali lagi. "Kalau saya sangat sempurna, harusnya kamu memilih saya. Hatimu memilih Arini, itu berarti yang ada di matamu hanya kekuranganku."

"Jadi maumu apa?" Alaska bertanya. "Demi Tuhan, jangan sakiti Arini. Jangan bawa dia dalam masalah ini. Berulang kali dia memintaku supaya kembali padamu, tapi saya yang keras kepala. Salahkan saja saya dan jangan bawa-bawa dia."

Pada detik ini, air mata Kanaya pada akhirnya jatuh. Buru-buru perempuan itu menyeka. Dia tidak mau menunjukkan kelemahannya.

"Saya nggak akan menyakiti Arini. Pernikahan kita akan berakhir baik-baik dan ... kita masih bisa berteman."

Alaska memicingkan mata, menganggap kalau ini hanya sikap manipulasi Kanaya.

"Apa maumu?" tanya Alaska.

"Ada beberapa syarat yang harus kamu penuhi sebelum kita berpisah."

"Kanaa–"

"Kalau kamu nggak mau memenuhinya saya akan bilang soal Arini ke keluarga besar kita. Biar mereka tahu seperti apa sakitnya hati saya!" Kanaya menatap nanar Alaska.

"Diamnya saya ... sabarnya saya, bukan berarti hati saya nggak sakit. Kamu bahkan nggak tanya, gimana saya bisa tahu gadis itu bernama Arini."

Alaska membulat matanya.

Sekarang, air mata Kanaya semakin deras mengalir. "Saya sering memergokimu, dalam tidur memanggil nama Arini. Saya memang tidak dengar itu, tapi saya bisa memahami nama siapa yang kamu sebut."

Diam Alaska mendengarnya.

"Saya mencintaimu, Alaska. Kamulah pria pertama yang membuat saya benar-benar jatuh cinta." Kembali Kanaya berujar. "Tapi, cinta sepihak itu selalu sakit. Dan ... seumur hidup itu terlalu lama. Saya nggak akan mau selamanya dengan laki-laki yang mencintai wanita lain. Saya sabar, tapi bukan berarti saya bodoh."

Alaska mulai luluh hatinya.

"Katakan padaku, apa yang kamu inginkan."

Kanaya bilang, "Aku punya banyak syarat. Syarat yang pertama adalah, kamu harus menyentuh saya sebagaimana seorang istri selama satu bulan ke depan."

Alaska masih membisu.

"Sentuh saya, biarkan saya menjadi istrimu yang sejati meski itu hanya selama satu bulan."

Alaska tidak punya pilihan. Tadinya dia tidak mau berakhir begini. Kalau Kanaya yang mau, apa boleh buat.

"Baiklah!" Alaska setuju.

☘️☘️☘️

Kanaya sedikit cemas. Dia berusaha menenangkan diri, berusaha menahan perasaan sedih yang menggelora dalam hatinya.

Perempuan itu duduk di depan cermin, memandangi wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar saat dia merapikan rambut, mencoba untuk tampak seindah mungkin untuk Alaska. Dia mengenakan gaun malam berwarna merah, warna favorit Alaska, dan memakai parfum yang selalu dipuji oleh suaminya.

Dia melangkah ke arah tempat tidur. Kemudian, tanpa sadar tidak bisa menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.

Kanaya duduk di sisi tempat tidur, menunggu Alaska datang. Dia merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, merasakan kecemasan yang semakin memuncak, hingga perempuan itu memilih menutup matanya.

Alaska akhirnya masuk ke kamar, Kanaya merasa tubuhnya menggigil. Dia berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

Alaska duduk di sampingnya, menggenggam tangan Kanaya dengan lembut.

"Kamu yakin dengan ini?" Sebelum mulai, Alaska bertanya lebih dulu.

Kanaya menahan air mata yang berusaha keluar. "Ini adalah syaratnya, Alaska. Saya mau kamu melakukannya."

"Baik." Alaska akan memenuhinya.

Alaska menatap Kanaya dengan lembut, memegang wajah perempuan itu dengan kedua tangannya. Matanya menatap dalam ke dalam mata Kanaya dan perempuan itu telah menyebut doa dalam hatinya.

Perlahan, Alaska mendekatkan wajahnya ke wajah Kanaya. Dia mencium kening Kanaya dengan lembut, penuh kasih sayang dan penghormatan.

Kanaya menahan napasnya, merasakan bibir Alaska di kulitnya. Air matanya mulai mengalir deras, tetapi kali ini bukan air mata sedih atau takut. Ini adalah air mata bahagia, air mata yang mencurahkan semua emosi dan perasaan yang telah dia pendam selama ini.

Alaska menggeser kecupannya ke hidung Kanaya, menciumnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Dia bisa merasakan getaran di tubuh Kanaya, bisa merasakan betapa berarti setiap sentuhan dan kecupan ini bagi Kanaya.

Perlahan, Alaska membaringkan Kanaya di atas tempat tidur. Matanya tidak pernah berpaling dari wajah perempuan itu dan sentuhan manis dari bibirnya belum berakhir.

Alaska cukup berhati-hati, sampai dia yakin Kanaya siap.

"Aku akan melakukannya." Alaska meminta izin.

Kanaya mengangguk perlahan.

Dengan penuh kelembutan, Alaska memastikan setiap sentuhan dan gerakan dilakukan dengan kehati-hatian, tanpa menyakiti Kanaya.

Ketika momen pertama itu cukup menyakitkan, Alaska membiarkan Kanaya menancapkan kukunya di kulit polos Alaska.

Malam itu berlanjut dengan aktivitas mesra mereka. Setiap gerakan Kanaya adalah ekspresi dari rasa cinta, sedangkan Alaska hanya memenuhi kewajibannya sebagai suami.

Terus dan terus, hingga keduanya telah berada di puncak nikmat surgawi Alaska berbaring di samping Kanaya.

Napas pria itu memburu. Tubuhnya berpeluh. Cinta atau tidak, Alaska harus mengakui ini adalah salah satu momen termanis dalam hidupnya.

Kanaya berterima kasih pada Alaska. Perempuan itu mengecup kening Alaska.

Siapa sangka, dalam momen itu Alaska tersenyum manis, sebelum akhirnya dia memejamkan mata lalu mendengkur halus dalam pelukan Kanaya.

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang