15

61 4 0
                                    

Kanaya memiringkan tubuhnya, memunggungi Alaska yang baru saja selesai bercinta dengannya. Perempuan itu merenung sendiri, apakah pilihannya tepat dengan membiarkan dirinya melakukan ini?

Pertanyaan-pertanyaan mulai menghantuinya. Apakah Alaska tidak akan menghina dirinya? Apakah dia akan tampak sama seperti perempuan yang haus akan belaian laki-laki?

Memikirkan hal-hal ini membuat Kanaya merasa sedih. Keraguan dan ketidakpastian mulai merayap ke dalam pikirannya. Apakah dia membuat keputusan yang tepat dengan terlibat dalam hubungan seperti ini? Apakah dia hanya mengejar kebahagiaan sesaat?

Kanaya merasa terluka dan khawatir. Dia mencintai Alaska dengan tulus dan ingin hubungan mereka berjalan baik. Namun, pria itu tidak memilihnya.

Lengan kekar Alaska menarik tubuh perempuan itu, memutar Kanaya berbalik menghadapnya. Dia tahu kalau perempuan itu tidak tidur.

Alaska menyentuh wajah Kanaya. Kulit mereka saling bersentuhan kembali. "Kamu kenapa?" tanyanya. "Apa saya menyakitimu?"

Kanaya menggeleng lembut. Napas Alaska yang hangat dan wangi menerpa wajahnya, membuatnya merasakan kehadiran yang nyaman dan akrab.

"Bukan itu. Kamu nggak menyakitiku."

Alaska hanya takut saat mereka bercinta, gairahnya begitu kuat dan mungkin bisa terlalu kasar.

"Kalau ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, katakan saja."

Kanaya menggeleng kembali. Dia tidak terganggu dengan aktivitas mereka. Malah ... merenungi jika tidak bisa mendapatkannya kembali.

Kanaya memejamkan mata dalam dekapan Alaska. Pria itu memperhatikannya, kemudian bertanya, "Kanaya, kamu tidur?" Dia bertindak bodoh karena saat memejamkan mata, bisa jadi Kanaya tidak akan mendengar apa yang dia katakan.

Namun, satu hal yang Alaska lihat. Bibir Kanaya yang melengkung.

"Gimana caranya kamu tidur dengan tersenyum kayak gitu?"

☘️☘️☘️

Pagi menjelang, sinar matahari mulai menusuk masuk melalui jendela, memberikan cahaya hangat di ruang makan. Kanaya dan Alaska duduk berhadapan, menikmati sarapan bersama.

"Alaska, hari ini kamu nggak usah ke kantor, ya?" tanya Kanaya sambil memotong roti.

Alaska, yang sedang menyeruput kopi, terkejut. Dia menaruh cangkirnya dan menatap Kanaya. "Aku nggak ke kantor lagi?" tanyanya dengan ekspresi bingung.

Kanaya mengangguk. "Saya mau kamu menemaniku pergi ke suatu tempat."

Mengerutkan alis, Alaska menatap Kanaya. "Ke mana kita akan pergi?" tanya Alaska.

Kanaya hanya tersenyum misterius, tidak memberikan jawaban langsung. "Temani saja saya, nanti kamu akan tahu kita akan ke mana."

Alaska mencebik. "Jangan hari ini."

Kanaya tidak mau menerima penolakan. "Kamu harus menemaniku."

Alaska tahu kalau perusahaan yang dipimpinnya saat ini adalah milik ayahnya Kanaya, sudah pasti dia akan jauh lebih berkuasa dari Alaska. Bisa dibilang, Alaska itu hanya orang yang dipercayakan.

"Baik kalau begitu." Alaska akan mengikuti permintaan istrinya.

☘️☘️☘️

Mobil mereka melaju melalui jalan yang berkelok-kelok, melewati hamparan sawah hijau yang membentang luas dan perbukitan yang memesona. Kanaya dan Alaska berada dalam perjalanan yang lumayan jauh. Rupanya, Kanaya meminta Alaska untuk membawanya ke pantai.

"Kenapa kamu mau ke pantai?" tanya Alaska, mencuri pandang ke arah Kanaya yang duduk di sebelahnya. Matanya tetap fokus pada jalan, tetapi dia bisa merasakan perubahan ekspresi di wajah Kanaya.

Kanaya tersipu mendengar pertanyaan tersebut. Dia menatap jendela, memandangi pemandangan yang berlalu dengan cepat. Setelah beberapa detik, dia berbalik menghadap Alaska, tersenyum malu. "Karena aku punya mimpi berjalan di pasir pantai yang lembut dengan laki-laki spesial."

Penjelasan itu membuat Alaska terkejut sejenak. Namun, dia harus fokus pada laju mobil.

Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa cukup hangat. Kanaya menikmati setiap detik perjalanan ini.

Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di pantai. Pantai yang dipilih Kanaya adalah pantai yang tenang dan tidak terlalu ramai, sempurna untuk menikmati hari bersama. Pasirnya yang putih dan halus seperti gula, lautnya yang biru dan jernih, serta suara ombak yang berdeburan membuat suasana menjadi sangat romantis.

Alaska memarkir mobilnya di tempat parkir yang tidak jauh dari pantai. Mereka turun dari mobil, merasakan angin laut yang segar dan hangat menyapa kulit mereka. Matahari yang masih muda memancarkan sinarnya yang hangat, memberikan kehangatan yang pas di kulit mereka.

Kanaya meraih tangan Alaska, menariknya perlahan menuju tepi pantai. Mereka berjalan berdampingan, menyusuri garis pantai yang panjang. Pasir pantai yang lembut merasuk di antara jari-jari kaki mereka, membuat mereka merasa lebih dekat dengan alam.

Alaska melihat ke arah Kanaya, melihat ekspresi bahagia di wajahnya. Dia merasa hangat dan bahagia.

Mereka berhenti sejenak, menatap ke arah laut yang luas. Ombak laut berdeburan, menciptakan suara yang menenangkan. Mereka berdiri berdampingan, merasakan angin laut yang meniup rambut mereka, merasakan kehangatan sinar matahari di kulit mereka, dan menikmati kebersamaan mereka.

Dalam momen ini, Kanaya merasa bahwa waktu seolah-olah berhenti.

Sesekali saat sudah masuk waktu salat mereka berdua sejenak menghentikan aktivitas mereka untuk menunaikan kewajiban. Setelah selesai, Kanaya kembali berlari-lari kecil menuju ombak pantai, bermain-main dengan air laut sambil tertawa riang.

Namun, seiring hari semakin sore dan matahari mulai tenggelam, Alaska mulai merasa jenuh. Sudah cukup lama dia menemani Kanaya bermain-main dengan ombak.

"Mau sampai kapan kita di sini?" tanya Alaska kepada Kanaya yang sedang asyik bermain dengan ombak.

Mata Kanaya tampak bersinar-bersinar karena cahaya matahari yang tenggelam dan bibirnya membentuk senyum manis.

Duh! Dia tidak sadar waktu karena terlalu asyik bermain dengan ombak.

Alaska mendengkus memahami ekspresi Kanaya. "Ayo pulang, saya nggak mau kamu nanti kecapean."

Kanaya meminta Alaska untuk melakukan satu hal lagi sebelum mereka pulang.

"Gendong saya, Alaska. Gendong saya di bahumu dan bawa saya berkeliling sebentar." Permintaan Kanaya itu terdengar begitu tiba-tiba sehingga membuat Alaska terkejut.

"Apa?" Reaksinya spontan, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia menoleh ke arah Kanaya, matanya memperhatikan wajah gadis itu yang tampak serius dan tidak bercanda.

Alaska melirik sekelilingnya, menyadari banyak pasangan dan keluarga yang sedang menikmati waktu mereka di pantai. Bahkan, ada berapa pasangan muda tampak sedang asyik menikmati waktu matahari terbenam.

Semua mata akan tertuju pada mereka jika dia melakukan hal tersebut.

"Aku nggak bisa."

Kanaya memanyunkan bibir. "Kamu tahu kalau ini adalah syarat yang saya ajukan. Kamu nggak bisa menolak."

Kalau sudah begini, Alaska akan menuruti keinginan Kanaya.

"Naiklah." Alaska menepuk bahunya, sembari berjongkok di depan Kanaya mengizinkan perempuan itu untuk naik.

Kanaya naik ke punggung Alaska lalu laki-laki itu menggendongnya. Alaska berjalan perlahan menyusuri pasir pantai dan menikmati indahnya matahari yang perlahan terbenam.

Kanaya melingkarkan tangan di leher Alaska. Dagu perempuan itu menempel di pundak Alaska.

Harusnya ini mengganggu, harusnya Alaska marah pada sikap Kanaya. Akan tetapi, pria itu malah diam-diam tersenyum.

Dia ... malah merasa momen ini sangat indah.

Kanaya masih punya satu keinginan besar lagi. Selanjutnya ... dia mau bertemu Arini.

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang