25

64 3 0
                                    

Kanaya pulang, Ismi menjadi orang yang paling bahagia menyambut kedatangannya. Bahkan, saking bahagianya dia sampai hampir tersandung ketika menyambut kedatangan Kanaya.

"Nyonya, saya senang Nyonya kembali lagi. Hampir saja saya mau mengundurkan diri kalau Nyonya nggak pulang." Ismi berujar begitu berani saking dia tahu kalau Kanaya itu memang orang yang baik, pasti akan memahami kalau Ismi ini memang bodoh, agak sulit baginya untuk menahan perasaan kangen atau menjaga etika.

Kanaya tersenyum pada Ismi. Seperti yang pembantunya pikirkan, Kanaya memang tidak marah dengan sikap Ismi yang begitu.

"Kan, saya sudah bilang kamu nggak boleh kemana-mana. Selama saya pergi, kok bisa-bisanya kepikiran mau mengundurkan diri?"

Ismi menyeka air matanya. "Ya, niat saya kan mau ikut Nyonya. Soalnya, Ismi baru punya pengalaman kerja pertama di sini dan dapat majikan baik. Kalau pindah takut ketemu dengan nyonya yang galak."

"Heh, sudah kamu jangan bicara terus di depan begini, Nyonya mau duduk!" Alaska ketus pada pembantunya.

Ismi langsung kicep, membungkuk meminta maaf. Urusan yang paling acuh tak acuh dan paling enggan basa-basi, Alaska itu orangnya.

Kanaya jalan perlahan dituntun Alaska. Di belakangnya ada Malik yang membawa koper milik Kanaya. Tadi, laki-laki itu pergi kembali lagi ke rumah Mbok Dayu untuk mengambil koper milik Kanaya, selagi perempuan itu dirawat di klinik.

"Sini, Tuan, biar saya yang bawakan ke kamar."

Malik memberikan koper tadi pada Ismi. Berikutnya dia mengikuti Kanaya, ke ruang tamu dan untuk sejenak mereka duduk di sana.

"Kamu nggak ke kamar aja, Kanaya?" tanya Malik yang khawatir kalau Kanaya butuh berbaring.

"Nggak." Kanaya menolak lembut. "Aku mau duduk di sini dulu sekalian cari angin."

"Ya, kalau cuma cari angin kan di kamar juga bisa." Alaska menyambung omongan istrinya dan juga Malik. "Di sini kamu nggak bisa rebahan, kalau di kamar malah enak bisa rebahan."

"Aku mau di sini dulu." Kanaya tetap keras kepala. Lagi pula, apa lega dia masuk ke kamar lalu berbaring saat tahu suami dan sepupunya ini tidak benar-benar akrab.

"Kamu mau Om Salim, aku kabari?" tanya Malik.

Kanaya menggeleng. "Jangan. Urusan itu, biar aku nanti saja yang akan kabari mama dan papa."

Malik terus memperhatikan Kanaya dengan cemas. Wajah perempuan itu masih pucat dan juga beberapa kali dia kelihatan kurang nyaman dengan aroma tertentu.

Alaska mulai sebal dengan perhatian itu. Malik ini, apa tidak bisa menahan perasaannya? Bukankah sudah jelas saat ini sudah ada Alaska sang suami yang menjaga Kanaya. Bahkan mereka sudah tidak bertengkar lagi. Jadi sepertinya dia tidak perlu bersikap perhatian seperti itu!

Di saat pikiran Alaska masih tetap fokus pada Malik, tiba-tiba saja saudara sepupunya berkata, "Kamu istirahat saja, Kanaya. Aku akan pulang. Kalau nanti ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku lagi."

"Ada suaminya di sini!" Alaska belajar ketus. Sebetulnya reaksi tersebut membuat Kanaya dan juga Malik sedikit terkejut. Memang sejak awal sikap Alaska selalu begini setiap kali di depan Malik, tetapi yang sekarang agak berlebihan. Untungnya Malik itu termasuk orang yang sabar, tidak suka dengan perdebatan dan tidak pernah ambil pusing. Dia tetap menanggapi dengan tenang reaksi Alaska tersebut.

"Oh, iya. Ada kamu sekarang. Kalau begitu, nggak ada masalah." Malik menyimpulkan senyum. Segera pria itu bangkit dari tempat duduknya kemudian menjabat tangan Alaska.

"Aku pamit pulang dulu kalau begitu."

Alaska hanya tersenyum tipis. Meski masih belum bisa akrab, tetap dia berterima kasih. "Makasih karena kamu sudah bantu hari ini. Kalau bukan kamu bantu, mungkin Kanaya masih merajuk padaku."

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang