27

139 3 0
                                    

Entah kenapa, sejak semalam Kanaya terus gelisah memikirkan Arini. Namun, perempuan itu tidak menceritakan pada suaminya dan memilih untuk memendam sendiri. Hingga paginya saat Alaska akan bersiap berangkat kerja, dia baru minta izin.

"Saya boleh nggak menemui Arini?"

Alaska sontak mengerutkan alis. "Kamu mau apa ketemu dengan Arini, Sayang?" Dengan hubungan yang makin mesra, cara memanggil mereka pun sudah berbeda.

"Mau ngobrol aja."

Alaska memperhatikan perut Kanaya yang sudah semakin besar. Tidak masalah memang kalau mau menemui Arini. Pria itu juga tahu kalau mereka tidak akan bertengkar. Namun, yang Alaska pikirkan adalah kandungan Kanaya yang sudah mendekati hari persalinan.

"Mau ketemuan di mana?"

"Saya sudah chat dia dan kita bisa ketemuan siang ini di kafe dekat tempat kerjanya. Dia lagi off, jadi bisa pergi siang."

"Ajak sopir dan Ismi, ya. Kalau ada apa-apa atau perut kamu mulai kerasa sesuatu hubungi aku."

Kanaya tersenyum lebar. "Terima kasih, Cintaku." Dia mengedipkan mata pada suaminya.

☘️☘️☘️

Sesuai dengan janjinya, Arini menunggu Kanaya di kafe dekat tempat kerjanya. Kafe tersebut memiliki suasana yang hangat dengan interior yang didominasi oleh kayu dan tanaman hijau. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar membuat ruangan terasa lebih nyaman dan hangat. Tempat yang nyaman untuk mereka berbincang.

Kanaya datang. Dia mencari Arini di antara orang-orang yang sedang asyik menikmati kopi mereka. Melihat kedatangan Kanaya, Arini melambaikan tangan membantu perempuan itu untuk menemukannya.

Mereka bertemu pandang. Dengan langkah perlahan perempuan itu menghampiri meja Arini.

Arini tampak terkejut melihat Kanaya yang sudah besar perutnya. Dia menatap Kanaya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Apakah itu kaget? Ataukah itu rasa haru biru karena melihat Kanaya sekarang tengah hamil besar.

"Mbak Kanaya?" sapa Arini akhirnya, suaranya lembut.

"Apa kabar, Arini?" tanya Kanaya, Masih cukup lincah dengan gerakan tangannya.

"Baik, Mbak." Arini menjawab sembari menyiapkan bangku untuk Kanaya.

Mereka berdua untuk beberapa menit menghabiskan waktu untuk basa-basi menayakan kabar.

"Maafin saya, Arini." Kanaya membuka percakapan yang lebih serius. "Saya sudah meminta Alaska untuk nggak menghubungi kamu lagi."

"Mbak Kanaya nggak salah." Arini yakinkan dia. "Memang sudah sepantasnya saya jaga jarak dengan Alaska."

"Mbak Kanaya dan Alaska kalau hubungannya baik-baik saja, saya malah senang."

Kanaya mengangguk, kemudian meraih tangan Arini. "Saya kepikiran kamu terus belakangan ini."

Arini membulat matanya. "Apa saya buat salah lagi, Mbak?"

Kanaya tertawa kecil melihat sikap Arini. "Kamu nggak salah, Arini."

"Makasih, Mbak." Arini mengukir senyum.

Di antara cangkir kopi dan aroma yang hangat, Arini mencoba menemukan kata yang tepat untuk mencairkan suasana hari ini.

"Oh iya, ini sudah berapa bulan, Mbak?"

"Ini sudah masuk bulannya. Dokter bilang perkiraan melahirkan sekitar 10 hari lagi." Kanaya menjelaskan.

"Sudah sebentar lagi. Harusnya, Mbak Kanaya nggak keluar-keluar kayak gini." Arini kelihatan cemas.

"Ini mungkin juga bawaan bayi." Kanaya melihat perutnya. "Dari semalam saya mau ketemu kamu terus."

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang