CHAPTER 28

119 20 14
                                    


Matahari bersinar lebih cerah dari kemarin. Disaat hangatnya sinar matahari jadi penanda bergantinya musim dingin menuju musim semi, ketika kuncup bunga mulai merekah, ketika kupu-kupu dan lebah saling berebut menyesap nektar bunga, ketika semua itu jadi penanda bahwa mimpi-mimpinya terasa semakin dekat dan semakin nyata. Setidaknya hingga beberapa hari yang lalu, ia masih bisa merasakan hangatnya sinar matahari. Sebelum ia mati rasa.

Jika ia bisa meminta pada siapapun yang dapat mendengar jeritan hatinya, ia hanya ingin meminta satu hal. Siapapun itu, ia butuh kekuatan yang besar. Sangat amat besar untuk membuat hatinya berlapang dada menerima kenyataan yang menyambarnya disiang bolong. Siapapun itu, bagaimana pun caranya, ia butuh kekuatan yang entah darimana bisa ia dapatkan itu. Karena saat ini ia sudah berada diambang mati rasa. Rasa kecewa, marah dan kebingungannya ini dapat membuatnya mati rasa. Dan ia takut akan hal itu. Ia tahu betul jika hatinya sudah benar-benar mati rasa, maka apapun akan bisa ia lakukan. Tak perduli jika harus menyakiti orang-orang terkasihnya, sekalipun itu Wendy.

Dia bukanlah pria suci yang selalu bisa menjaga hati dan perasaan orang lain. Dia bukanlah pria tanpa ego yang bersedia mengorbankan perasaannya sendiri. Setidaknya itulah yang tidak diketahui oleh banyak orang. Selama ini mereka melihatnya sebagai pria tanpa emosi, tanpa perhitungan. Namun jauh dari itu, ia adalah seorang pendendam. Hatinya sanggup untuk menyakiti siapapun yang berani mengusiknya, mengganggu ketentraman hidupnya. Apalagi yang berani menghancurkan mimpi dan harapannya. Siapapun itu, siapapun orangnya, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas dendam. Dan saat ini, ia tengah memutar otak untuk membalaskan dendamnya pada Tn. Son.

Karena kali ini Wendy tak ada dipihaknya. Maka tak ada satupun yang dapat menghalanginya untuk membalas dendam.

Malam itu -tepat sehari setelah pertemuan keluarga Chanyeol dan Wendy- ketika Chanyeol dengan langkah ringan berjalan masuk menuju rumahnya sepulang bekerja. Sebelah tangan menggenggam erat majalah gaun pengantin dengan hati yang berbunga, langkahnya semakin ia percepat. Rencananya malam itu ia akan melihat-lihat beberapa gaun pengantin rancangan desainer terkenal sebagai inspirasi desain gaun pengantin khusus untuk Wendy. Majalah yang baru diterimanya tersebut akan menjadi panduan bagi Chanyeol menemukan desain istimewa untuk calon istrinya. Ia ingin memberikan gaun pengantin yang hanya bisa dipakai dan dimiliki oleh Wendy.

Chanyeol sudah bisa membayangkan bagaimana cantik dan memukau calon istrinya tersebut saat berjalan menghampirinya diatas altar mengenakan gaun pengantin yang dirancang khusus. Senyum bahagia terpancar dibibir wanita pujaannya.

Namun mimpi dan harapan itu hancur seketika. Apa yang menyambutnya saat ia pulang ke rumah adalah pemandangan tak menyenangkan. Suara isak tangis terdengar jelas dari arah ruang makan, diikuti suara gemetar Ibunya yang menyebut nama Chanyeol berulang kali.

"...Apa yang harus aku katakan pada Chanyeol?" suara isak tangis yang bersumber dari ruangan itu memecah pikiran Chanyeol. Suasana hati yang semula berbunga, tiba-tiba berubah. Hatinya berdebar semakin cepat tiap kakinya melangkah mendekati ruangan itu. Semakin dekat dan semakin jelas, hingga ia melihat Ayah dan Ibunya tengah duduk berhadapan di kursi ruang makan.

"Beritahu aku, apa yang harus ku katakan pada Chanyeol?" Ibunya terdengar mengulang pertanyaan dengan suara yang semakin serak dan bergetar. Tak lama suara isak tangis itu terdengar semakin mengeras.

"Kenapa menyebut-nyebut namaku?" sekuat tenaga, Chanyeol mencoba mempertahankan nada suaranya agar tak meninggi. Kedua tangannya mengepal keras, membuat majalah yang ada digenggaman tangan kanannya terlipat menjadi kusut.

Suasana dalam ruangan itu terasa menyesakkan. Kesedihan yang terpancar menguap memenuhi tiap sudut ruangan hingga rasanya pengap. Ayah dan Ibunya tampak terkejut dengan kedatangan Chanyeol yang mendadak, tanpa antisipasi. Ibunya menunduk sambil menutup wajah dengan kedua tangan, sedang Ayahnya balas menatap dengan tatapan sayu. Tatapan itu terasa penuh beban, seolah tengah mencari kata yang tepat untuk menjelaskan sesuatu yang terasa sangat berat.

From A Man Who Truly Loves YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang