Bab 6

3 0 0
                                    

"Loh Ray, kok elo disini?" Tanya Devan kaget. Setelah berpamitan kepada teman-temannya, Devan bergegas menghampiri cewek yang saat ini duduk sendiri di depan aula olahraga.

Kiraya yang memang sedari tadi menunggu Devan lantas berdiri.

"Gue mau kasih ini." Kiraya menyerahkan amplop coklat.

"Apa nih? Surat cinta ya?" Devan terkekeh lalu membuka amplopnya, mengintip sedikit lalu menyipitkan mata, mengetahui apa yang ada di dalamnya.

"Buat apa Ray? Gue ngga bisa terima. Buat elo aja." Devan menyerahkan amplopnya ketangan Kiraya.

Kiraya kontan menolak, bagaimanapun Devan ikut serta membantunya.

"Gue cuma bantu dikit, sisanya elo. Jadi, yang lebih berhak itu elo. Udah simpen aja. Jangan membantah!" Tuding Devan saat dilihat cewek di depannya akan menyanggah ucapannya.

"Tapi gue gak enak Dev," Ringis Kiraya. "Atau gue ganti makanan aja gimana? elo mau makan apa?"

Devan menimbang saran cewek yang kini menatapnya penuh harap. Tak mau merusak raut tersebut, sontak ia mengangguk. Biarkan kali ini dia menjadi cowok ungentle yang harus dibayarkan perempuan.

Lebih baik kehilangan setitik harga dirinya untuk melihat rona bahagia di depannya yang sangat jarang terlihat, bukankah ada pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa?

"Oke. Terserah elo mau kasih gue makanan apa. Bebas. Perut gue penerima segala jenis makanan." Devan mengedipkan sebelah matanya.

"Lo mau ke tempat bimbel?"

Kiraya mengangguk seraya menyimpan amplopnya ke dalam tas.

"Ayo! Gue anter."

"E-eh ngga usah Dev, kita berlawanan arah. Lagian elo juga pasti cape, abis latian." Tolak Kiraya cepat.

"Tapi gue maksa. Lagian, kita searah kok."

Kiraya menatap Devan penuh tanda tanya. Mau kemana cowok itu sore-sore gini? selain tempat les, arah sana ngga ada apa-apa lagi. Ah, ada satu cafe tapi sangat tidak memungkinkan seorang Devano Abikala mau masuk kesana dan tempat les? Setahu dia, tempat les Devan beberapa meter dari sekolah. Kecuali.........?

"Karena gue pindah ke tempat bimbel lo."

"Hah?! Sejak kapan?"

Tanpa menjawab Devan melenggang pergi disertai senyum tengil.

*****

Setelah seharian berjibaku dengan pelajaran, akhirnya Kiraya bisa merasakan kenyamanan rengkuhan kasur. Menutup mata sejenak, dia justru teringat percakapannya dengan Devan, cowok aneh yang entah sejak kapan berhasil menembus dinding pertahanannya terhadap orang asing.

Selain Kanaya, dia tidak membiarkan siapapun mendekati ranah pribadinya. Tapi, cowok itu? Bagaimana bisa dia lengah. Sejak kapan mereka mulai dekat? Bagaimana bisa apapun yang dia berikan, diterima senang hati olehnya.

Flashback on,.....

"Ray, boleh gue minta tolong?" Ujar Devan sesaat Kiraya akan membuka pintu mobil.

"Minta tolong apa Dev?"

Devan menghela napas sejenak, lalu tersenyum. Senyuman yang sesaat membuat Kiraya tertegun. Jantungnya berdebar kencang.

"Tolong, jangan pakasain diri lo. Gue gak tau apa yang lo alamin atau lo punya masalah apa. Tapi tolong jangan bangun dinding baru lagi buat ngehadang gue. Ray, gue cuma mau lo hapus tawa palsu lo, setidaknya di depan gue. Biarin gue liat tawa tulus lo." Ungkap Devan mengeluarkan unek-unek yang bersemayam di otaknya selama ini.

".... Gue punya tangan, lo bisa pakai tangan gue sebagai penarik semangat lo, gue juga punya pundak yang bisa jadi tempat bersandar atau dada gue, dada gue cukup bidang buat nopang lo. Manfaatin badan gue semau lo Ray. Jangan pendem semuanya sendiri, karena lo gak sendiri."

Bukan tanpa alasan Devan mendekati cewek berlesung pipi ini. Nyatanya dia penasaran, berulang kali dirinya mendekat, berulang kali pula dirinya tertolak. Kalau bukan karena kegiatan yang mengharuskan mereka bekerja sama, mungkin kesempatan itu tidak ada. Kiraya tak tersentuh. Menganggap semua hanya angin lewat. Tawa dan canda hanyalah kiasan. Topeng pengalihan.

Saat itu, Kiraya tertegun. Membatu. Mulutnya kelu, ia hanya bisa mendengarkan tanpa menjeda. Kala matanya mulai memanas, ia berlalu seraya mengucapkan maaf dan terima kasih. Meninggalkan dia yang menatapnya berkaca-kaca.

Flashback off .

"Argh... Perasaan manusia rumit, mengalahkan soal fisika dan kimia. Kalau mereka ilmu pasti, sebenarnya bagaimana perasaan itu, ilmu ketidakpastian kah?" Kiraya uring-uringan. "Terus kenapa lagi ini, masa gini doang banjir. Lemah!" Sungutnya begitu merasakan pipinya basah.

Kiraya menepuk-nepuk sisi dahinya. "Gue perintahin, jangan terngiang-ngiang terus!"

Ting.....

Sebuah pesan masuk, tanpa mengubah posisi tangannya meraba-raba kasur.

From: Devano

Sorry, gue tadi kebawa perasaan dan bikin lo gak nyaman. Tapi gue serius tentang apa yang gue bilang.

"Jangan selalu melihat ke depan.  Sesekali tengok ke belakang. Lo akan sadar kalau di belakang lo ada seseorang yang siap siaga mendorong lo. Kalau lo cape, ulurin tangan lo dan genggam tangan gue. Biarin gue jadi penuntun buat lo, setidaknya sampai lo punya tenaga lagi."

So.... Ray, wanna be my best friend?"

*****

"Kenapa sih lo? Uring-uringan sambil liatin hp." Tegur seorang cowok berpostur jangkung.

"Bang....? Panggil Devan. Sang abang berdehem tanpa mengalihkan pandanganya dari televisi.

"Gue kenal cewek dan dia mirip dia."

"Terus?"

"Gue pengen deket sama dia tapi dia selalu pasang tembok yang susah gue tembus. Dia selalu pasang muka penuh kepalsuan, tawa dan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya cuma sebagai formalitas. Gak ada ketulusan sedikitpun."

Walau terlihat acuh, Salendra mendengarkan dengan seksama.

Setiap pembahasan tentang dia, adiknya selalu kehilangan arah. Pikirannya jadi mudah terdistorsi.

Dia, bukan hanya sekadar masa lalu melainkan seseorang yang sudah menyatu dengan hidup adiknya. Dia, kekasih hatinya sekaligus pematah hatinya.

"Kalau lo mau dia bersikap tulus sama lo, gimana dengan elo sendiri? Udah lakuin itu? Lo anggep dia apa selama ini?  Seseorang yang mirip dia atau....." Salendra menjeda ucapannya.

"Kalau lo aja belum bisa perlakuin dia dengan tulus, jangan minta sebaliknya. Bagaimanapun dia cewek, gampang tersakiti. Perasaan mereka rapuh. Kalau lo cuma jadiin dia bayangan, mending lo menjauh!" Pungkas Salendra beranjak pergi. Meninggalkan Devan yang termenung memikirkan kata-kata sang abang.

"Di dekat dia seolah gue bisa bersama dia. Bayangan? Dia memang laksana bayangan, terlihat namun tak tersentuh. Tapi dia lebih dari itu.
Kiraya..... Maaf.... Kalau pada akhirnya gue bakal jadi salah satu penyebab dari sakit hati lo. Tapi gue gak mampu kendaliin diri gue, gue kangen seseorang yang paling gue sayangi dan hanya melalui lo, rasa rindu itu terobati. Cuma elo." Batin Devan, meremat dadanya kuat-kuat.




Tbc..... Wait.

Apa ini???? Devan jahatkah???

Pict Abang Salen.....

Pluviophilia (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang