59. Orang itu

1.7K 188 58
                                    

Happy reading kwandd

-

-

Kalara : Karang, masih sakit ya? Aku boleh jenguk?

Kalara : Maaf karna jaket kamu yang aku pake, kamu masuk angin ya?

Kalara : masih lama sakitnya? Aku kangen

Gadis berponi itu menghela nafas. Karang tidak berangkat lagi. Semua pesannya centang satu dari dua hari yang lalu. Perasaannya tak enak. Apa yang terjadi dengan Karang? Hanya sakit? Atau urusan lain?

Jika saja puluhan pesan yang bertulis Kalara kangen itu tersampaikan, sudah dipastikan Karang ambyar saat itu juga. Meraung kegirangan dengan kaki yang lemas seperti jelly seperti biasa.

Namun saat ini bisa terbilang mustahil untuk sekedar membuka pesan itu.

Kalara menyimpan kembali ponselnya. Mengeratkan pegangan pada tali tasnya merunduk menatap langkah.

"KALARA!"

Merasa terpanggil, Lara membalikkan badan. Langsung mendapati Rea yang berlari membelah keramaian koridor cepat. "Aduh badan kecil jalan aja cepet banget," omelnya memegangi lutut mengatur nafasnya.

Lara mengerjap. Menipiskan bibir mengerutkan dahinya. "Maaf."

Rea perlahan menegakkan tubuh. Mendengus pelan menatap lurus. "Abah minta maaf, Ra. Abah pengen nyampein permintaan maaf langsung sama lo. Tapi takut lo-nya masih sakit hati. Maafin Abah gue ya,Ra? Abah cuma ngga mau anaknya temenan sama orang yang salah. Kemarin Abah asal tangkep sama lo."

Ah, kejadian semalam. Lara sudah lupa karena sibuk memikirkan keberadaan Karang. Gadis itu memaksakan untuk tersenyum tipis. "Bener kala Abah kamu kok. Ngga ada salahnya juga. Ngga papa, aku kemaren cuma pengen pulang aja takut ngerepotin," alibinya.

Rea memajukan bibir bawahnya. Bergerak memegangi lengan kurus Lara. "Tapi kata Abel lo nangis?"

Iya, dia menangis tandanya sakit hati bukan? Kenapa dia harus berbohong dengan mengatakan tidak? Biarkan semua orang yang mencela tanpa berfikir itu tahu, dia telah meruntuhkan raga seseorang. Menusuk belati tajam dalam hatinya.

Lara meneguk ludahnya susah payah. Mengepalkan tangannya kuat. Menatap lurus Rea yang menunggu jawabannya. Kelopak mata Lara bergetar, mengusahakan lidahnya untuk berucap. "Iya. Aku nangis. Soalnya aku denger langsung," tuturnya berusaha tersenyum.

Rea terperangah. Merasa bersalah. "Ra..."

"Rea, seandainya aku bisa dilahirin kembali, aku juga mau punya orangtua lengkap kaya orang lain. Ayah, Bunda..." katanya terputus. Mengambil nafas dengan maksud mengurangi kesesakan dalam dadanya.

"Aku juga pengen diajarin cara bertamu, diajak ngobrol sama Ayah, jalan-jalan sama Ayah, dimasakin Ayah. Kaya yang sering kamu ceritain sama aku. Tapi itu ngga mungkin, Re," Lara menyempatkan tertawa dalam akhir kalimatnya.

Dengan pandangan mengabur ia mengangkat wajahnya kembali. "Sampai mati pun orang itu ngga akan pernah ngerasa bersalah nelantarin kita. Makannya itu... hidup tanpa orang itu lebih baik sekarang. Walau harus nanggung kejadian kaya gini."

Masih dengan tatapan terperangah, Rea dengan pelan meraih tubuh Lara. Perlahan membawa gadis yang langsung menangis itu dalam dekapannya. Berkali-kali Rea mengusap punggung yang bergetar itu dengan perasaan bersalah.

"Rea... bilang sama Abah kamu buat izinin kamu nemenin aku ya? Tetep temenan sama aku. Nanti aku belajar cara bertamu lagi biar Abah kamu seneng..." ucapnya lirih.

Sea For Blue WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang