Keesokan harinya, suasana di ruang makan istana terasa kaku dan hening. Denting sendok bertemu piring menjadi satu-satunya melodi yang mengisi ruangan. Dara duduk di sisi meja yang berlawanan dengan Wira, merasakan getir dalam suasana yang begitu asing. Dia mencuri pandang ke arah suaminya beberapa kali, berharap menemukan tanda-tanda kehangatan. Namun, pria itu tetap terlihat tenang dalam keheningan yang membelenggu mereka.
Saat Wira selesai menyantap sarapan dan bersiap untuk meninggalkan meja, Dara merasa gelisah. Perasaan tidak nyaman yang terus menggerogoti hati. Akhirnya, dia mencoba untuk memberanikan diri. Mengambil napas dalam-dalam dan mengajak suaminya bicara.
"Maafkan saya jika keberadaan saya di sini menimbulkan ketidaknyamanan," ucap Dara dengan lembut, matanya menatap Wira, mencari secercah kehangatan dalam tatapan yang dingin itu.
Wira berhenti sejenak, menoleh ke arah wanita yang baru dia nikahi kemarin dengan ekspresi wajah yang datar. Dara menelan ludah dengan susah payah, merasakan ketegangan yang semakin menyiksa. "Apakah kita bisa berbincang sejenak?" lanjut Dara, mencoba menempatkan kata-katanya dengan hati-hati. Meskipun hatinya berdebar-debar, dia berusaha menunjukkan keberanian di hadapan Wira.
Wira menatap para pelayan. Mendapatkan tatapan dingin itu, mereka semua yang hadir di ruang makan langsung pergi dari sana, memberikan tempat pada Wira dan Dara untuk berbincang empat mata.
"Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku tidak punya banyak waktu," ketusnya terdengar tajam seperti belati.
"Sa-saya tahu pernikahan ini hanya formalitas belaka, tetapi saya ingin memastikan bahwa kita bisa menjalankannya dengan baik," tutur Dara, suaranya bergetar karena menahan air mata. Dia sedang berusaha menunjukkan perasaan tulusnya. Namun, Wira sama sekali tak menunjukkan kehangatan yang selalu didambakannya.
Wira mendengkus, suara itu membuat bulu kuduk Dara meremang seketika. "Pernikahan seperti apa yang kau harapkan? Ingat, Dara, aku menikahimu hanya agar Ayahmu tidak mengacaukan semua yang sudah aku susah payah raih." Nada bicaranya tajam dan menusuk hati. "Setidaknya kau harus bersyukur, karena sekarang kau sudah menjadi seorang permaisuri. Salah satu pemegang kekuasaan tertinggi di kerajaan ini. Satu hal yang perlu kau ingat, aku tidak ingin tidur dengan orang yang sewaktu-waktu bisa menusuk belati padaku kapan saja."
Setelah mengatakan kata-kata yang begitu tajam, Wira berdiri dan pergi meninggalkan istrinya begitu saja. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan atau kepedulian. Dia tidak menoleh sama sekali. Mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan ini, hanya diam yang bisa Dara lakukan. Dia memejamkan mata, mencoba menahan emosi yang mendidih di dalam dada. Rasanya seakan-akan dunia menghimpitnya. Hidupnya sudah seperti boneka yang diatur untuk kepentingan politik, tanpa memiliki kendali atas hidupnya sendiri.
Di balik kekecewaan dan amarah, terdapat juga keputusasaan yang menggerogoti hati. Apakah dia akan terjebak dalam pernikahan yang hampa, tanpa ada ruang untuk cinta dan kebahagiaan untuknya? Lantas, sampai kapan dia harus menghadapi sikap Wira yang begitu dingin padanya? Dan, sampai berapa lama dia bisa bertahan dalam pernikahan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
SELENOPHILE (ON GOING)
Fantasi{ TERINSPIRASI BOLEH, PLAGIAT JANGAN YAA! } === TINGGALKAN JEJAK DI KOMEN, JIKA MAU VOTE & FEEDBACK ^_^ === #1 Selenophile (per November 2024) **** Kirana, seorang gadis dengan trauma besar akibat kecelakaan yang menghantamnya saat masih kecil, tern...