TCV 118 | Taruhan Pertarungan

82 21 3
                                    

TCV 118 | Taruhan Pertarungan

Zoe melirik Sophia dan sedikit memiringkan kepalanya. "Anda sepertinya tidak punya pedang," prediksi itu langsung di angguki Sophia.

"Aku memberikan pedangku kepada orang lain." Sophia melirik pedang milik Zoe dan tersenyum. "Saat aku menang, aku akan meleburkan pedangmu dan membuatkan lonceng untuk mainan Haru." Sophia tersenyum manis.

"Bagaimana bisa Anda memberikan pedang milik seorang grandmaster termuda begitu saja pada orang lain?" Salah seorang kesatria mengeluh. Terlebih pedang itu adalah milik Alexi. "Karena aku bosan," jawab Sophia tanpa ragu. Sophia melirik jejeran pedang yang ada di antara milik para kesatria dan berdecak kecil.

Sophia melihat sekitar, menemukan Evans di antara deretan penonton, gadis itu berjalan menghampiri gurunya. "Tidak ada yang terlihat cantik disini," keluh Sophia. "Seleramu semakin buruk," sambungnya lagi Sophia sambil menghela nafas. "Sepertinya aku harus membuat satu lagi," gumam Sophia tanpa memperdulikan orang-orang yang bersama dengan Evans.

Saat secara tidak sengaja melirik salah satu pedang yang ada di pinggang kesatria di belakang Evans, Sophia langsung menghampirinya. "Itu terlihat sangat cantik," puji Sophia sambil melihat dua pedang pendek pada pinggang Chris. Pedang itu memiliki ukiran cantik, dengan permata merah seperti matanya pada bagian pegangan.

"Ah," Chris tampak gugup dan dengan bangga mengangkat kedua pedangnya. "Ini hadiah yang saya terima setelah berhasil menjadi salah satu kesatria yang berjasa besar pada pengepungan benteng Tylisseiros." Mendengarnya Sophia menarik tipis senyumannya.

"Boleh aku pinjam?" Tanya Sophia dengan nada manis dan senyumannya. "Anda tidak bisa memilikinya, dia bukan kesatria Brunswick Nona!" Sophia mendesah kecil dan melirik Evans. "Aku tidak memintanya, aku hanya ingin meminjamnya karena tidak ada satupun pedang cantik disini!" Sanggah Sophia.

"Pedang adalah senjata, untuk apa mementingkan cantik atau tidaknya pedang yang digunakan. Kemampuanlah yang terpenting, ah apa pedang yang cantik bisa menutupi kemampuan buruk seseorang?" Ucapan Fie membuat Sophia mengatakan sebuah kalimat tanpa meliriknya sedikitpun.

"Pantas saja seleramu sangat buruk." Sophia kembali menatap Chris. "Tidak boleh?" Chris langsung menggeleng dan menyerahkan kedua pedangnya pada Sophia. "Boleh," ujarnya sambil tersenyum malu-malu.

Sophia menerima kedua pedang itu dan melepaskan sarung pedangnya dengan perlahan. Gadis itu terdiam dan terpukau sesaat. "Cantik sekali," puji Sophia sambil memperhatikan sisi tajam setiap pedang yang ada di tangannya.

"Seingat saya Anda tidak terlalu mahir menggunakan dua pedang." Evans meraih pedang miliknya dan menyerahkan kepada Sophia. "Sebaiknya gunakan pedang saya saja, Anda pernah menggunakanya dulu kan. Anda pasti masih ingat dengan baik." Sophia langsung menggeleng begitu mendengarnya. "Karena aku masih ingat mangkanya aku enggan menggunakanya lagi. Peganganya tidak nyaman dan pedangnya sangat berat. Pergelangan tanganku bisa sakit!" Sophia berbalik pergi.

"Ternyata dia lebih kurang ajar dari rumor yang beredar," komentar Fie pelan meski bisa didengar oleh semua orang. "Bukan begitu, nona kami sangat manis dan sopan. Tapi, saat dia sangat fokus pada suatu hal, biasanya dia akan mengabaikan banyak hal lainnya. Ah yang paling penting suasana hatinya. Nona sangat menghargai dirinya sendiri, menghinanya hanya akan memancing amarahnya seperti saat ini. Meski tidak terlihat, dia sedikit pendendam." Evans melirik Fie, "dan ada alasan mengapa nona kami hanya memakai barang-barang cantik," ujar Evans. "Tentu saja untuk mengimbangi kecantikannya!" Evans terlihat sangat bangga.

"Bagaimana bisa dia tumbuh menjadi gadis dewasa begini, padahal waktu itu dia masih menjadi gadis kecil yang mematung saat anjing pemburu kehilangan kendali dan menghampirinya. Tatapan ketakutannya, kakinya yang lemah sampai tidak bisa berdiri, ahh Nona benar-benar manis saat itu! Nona kecil kami yang suka digendong sudah begitu dewasa." Evans segera berjalan lebih dekat menuju arena.

"Kalian harus mencari tempat duduk terbaik, tontonannya akan segera dimulai." Evans meninggalkan para tamunya, ia langsung merebut kursi yang baru saja dibawa oleh salah satu kesatria.

Kesatria-kesatria Brunswick berlarian saat kabar menyebar. Tidak hanya kesatria, hampir semua pegawai di kediaman Brunswick berlarian dan menonton pertarungan yang akan berlangsung saat ini.

"Apa ini ramai-ramai?" Kavian baru saja datang untuk mengantarkan peresediaan bulanan di kediaman Sophia, mengikuti segerombolan pekerja yang berlari menuju arena pelatihan.

"Apa ini? Nona Sophia mau berkelahi?" Kaivan langsung mengeluarkan beberapa kacang dalam sakunya dan bersandar di dekat pohon.

"Sudah lama aku tidak melihatnya." Tepat di samping Kaivan, rombongan dari Peter juga berdiri. Sedangkan Khaled hanya melihat dari kejauhan.

"Orang-orang disini tidak normal," keluh Fie kepada Peter. "Bahkan si kurir itu seolah bersikap akrab dengan lady Brunswick?" Tanya kesatria lainnya. "Itu karena nona adalah orang yang ramah," Chris tersenyum senang saat Sophia mulai mengacungkan kedua pedangnya. "Yang seperti itu dibilang ramah?" Fie membalas dengan sinis.

Beberapa kesatria lainnya mengeluarkan uang dan mulai mencatat. "Aku yakin Zoe yang menang. Meski nona cukup hebat, staminanya masih lebih lemah. Dia pasti akan menyudahi secepat yang dirinya bisa. Zoe jelas sudah tahu itu, Zoe juga tahu semua teknik dan trik nona kan." Salah seorang kesatria Brunswick memulai analisa.

"Itu benar, tapi dulu pun kita meremehkan nona bukan? Alexi, yang dikalahkan Nona pertama kali adalah Alexi si jenius pedang." Timpal kesatria lain sebelum menulis namanya di sisi nama Sophia. "Melakukan hal-hal mustahil, adalah keahlian nona kita. Bukankah karena hal itulah kita selalu mempercayai semua perkataannya? Bahkan saat dia membohongi tuan Aefar secara terang-terangan untuk mengambil uang sakunya dulu." Kesatria lain melanjutkan.

"Ahh bukankah tuan Aefar akan mengamuk jika tahu nona bertaruh lagi? Kalian yakin hal ini tidak harus dihentikan?" Tanya salah seorang kesatria tampak risau. "Kau pikir nona akan mendengar kita?" Kesatria lain menggeleng dengan lesu.

Deretan nama terus di tulis, dengan uang yang terus terkumpul.

"Mereka bertaruh? Baik guru dan tuan mudanya tetap diam. Ada apa dengan orang-orang ini?" Fie masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"HEY KALIAN!" Teriak Evans pada para muridnya yang tengah sibuk menulis nama dan mengumpulkan uang taruhan. Fie akhirnya merasa lega, mengira bahwa Evans akan menghentikan tindakan tidak terpuji itu.

"TIDAK BOLEH!" Teriak para murid Evans dengan serentak. Seorang guru tidak boleh berpihak pada salah satu muridnya. Evans merasa kecewa tidak diperbolehkan ikut dalam taruhan.

Perbuatannya hanya membuat para kesatria dari Wolfenbuttel menggelengkan kepalanya tidak percaya.

Di arena, Zoe mengangkat pedangnya ke hadapan Sophia, Sophia tersenyum melihatnya. Ia menaruh kedua tangan yang memegang pedang ke belakang. Kedua pedang yang Sophia bawa sudah ia genggam kuat, menanti Zoe menghampirinya.

Sepertinya sudah sekitar dua tahun ia tidak berlatih dengan benar.

Akan sulit, namun tidak mustahil mengalahkan seorang kesatria berbakat seperti Zoe.

Karena Sophia cukup mengenal gaya bertarung Zoe, sedangkan pemuda itu tidak akan mengenali gaya bertarung Sophia saat ini.

"Pertarungan."

"DIMULAI..."

~
Jangan lupa tinggalkan jejak, agar saya semakin semangat up yah ;)

Vote + Comment + Follow

The Crowned Villain'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang