4. Kakak perempuan?

321 64 14
                                    

"Mas, kamu semalaman nggak pulang?"

Ayana menatap wajah Farhan yang terlihat sedikit lelah. Tanpa sadar, Ayana bergerak mendekat, tangannya terulur menyentuh dahi Farhan.

"Aku baik-baik aja, Ay." Elak Farhan menjauhkan wajahnya, membuat tangan Ayana berhenti di udara. "Aku nginep di rumah Mesya semalam. Maaf, aku nggak ngasih kabar."

Ayana menarik tangannya. "O-oh," Ekspresinya rumit. Dia menundukkan kepalanya, menatap lantai kamar dengan pikiran kosong.

"Hari ini janji temunya?" Bergerak melepas kemejanya, Farhan melirik Ayana yang langsung bergegas membantunya, mulai dari handuk mandi yang akan dia pakai lalu bergerak membuka lemari untuk menyiapkan pakaian yang akan dia kenakan nanti saat pertemuan.

Ayana mengangguk, seluruh suaranya lenyap. Farhan memperhatikan ekspresi istrinya yang rumit. Dan hal itu menganggu pikirannya. "Kamu marah, Ay?"

Ayana yang masih memilih pakaian Farhan terhenti, matanya jatuh pada kemeja panjang hitam, tangannya menyentuhnya pelan. Baju kemeja ini, adalah hadiah yang dia pilih saat Farhan ulang tahun di tahun ini. Baju kemeja yang mungkin tak akan Farhan kenakan lagi jika mereka resmi berpisah.

"Enggak, Mas," jawab Ayana dengan tangan mengambil kemeja yang dia sentuh. "Mesya kan bakal jadi istri kamu nanti, jadi kemarahanku takutnya salah tempat."

Farhan terdiam, dia melihat bagaimana cekatannya tangan Ayana dalam memilih pakaian yang akan dia kenakan. Biasanya selalu ada senyum di wajah cantik itu saat memilihkan pakaian untuknya, dengan dua lesung pipi dalam yang membuat gigi gingsul terlihat. Seakan-akan memilihkan hal untuknya adalah kebahagiaan tersendiri, dan dia suka melihat hal itu. Dia suka melihat wajah cantik dengan senyum yang memikat, dia suka melihat Ayana yang selalu berusaha memberikan hal terbaik untuknya dalam berbagai hal. Tapi saat ini, semua pemandangan yang dia sukai itu lenyap.

"Ay-"

"Air hangatnya nanti dingin, Mas. Waktu janji kita juga nggak lama lagi," potong Ayana lembut.

"O-oh, iya. Aku mandi dulu,"

Ayana melihat punggung yang menghilang memasuki kamar mandi, saat itu juga tubuhnya luruh ke lantai kamar. Dia menangis pelan.

"Aku marah, Mas. Aku kecewa juga sedih. Karena pada akhirnya semua hal yang aku sukai tentang kamu menjadi hal yang paling menyakitiku," ucap Ayana lirih.

"Ay, Shamponya habis." Teriak Farhan dari dalam kamar mandi.

Ayana menghapus air matanya lalu bergegas mendekati pintu kamar mandi. "Pakai Shampo yang baru, Mas. Ada botol warna Biru disitu."

"Ini bukan Shampomu," Tegur Farhan membuka pintu kamar mandi. Dia mengeluarkan Shampo baru yang istrinya katakan. "Aku mau Shampo yang biasa kamu pake."

Ayana menundukkan wajahnya, tak berniat melihat tubuh Farhan sedikit pun.  "Sebentar ya, Mas."

Farhan melirik wajah Ayana yang menunduk, seolah tak tertarik pada tubuhnya. Sampai akhirnya dia melihat tangan Ayana membuka koper di sudut kamar lalu mengeluarkan shampo yang dia inginkan. Melihat koper itu entah kenapa perasaannya menjadi sedikit kacau.

"Mas-"

"Makasih," Potong Farhan cepat, secepat dia menutup pintu kamar mandi.

Ayana terkejut, tapi dia memilih diam. Dia memilih menunggu Farhan menyelesaikan mandinya dengan memakai jilbab juga make up tipis yang sangat jarang dia kenakan. Jika mengingat dengan benar, ini akan jadi hari pertama mereka berdua makan di luar tanpa adanya ibu atau pihak keluarga Farhan yang lain. Ini juga pertama untuknya, berangkat dalam mobil yang sama dan hanya berdua dengan Farhan meski pada akhirnya tujuan pertemuan kali ini lagi-lagi menyakiti hatinya.

Pernikahan Untuk SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang