Rexton mengabaikan sapaan sepupunya dan memilih untuk duduk di samping sang kakek. Mendapat tepukan ringan di bahu oleh sang kakek yang berusia lebih dari delapan puluh tahun. Meski begitu masih terlihat sehat dan bugar. Jarang sekali mendengar kakeknya sakit dan itu melegakan keluarga Genaro. Selama ini mereka selalu kuatir dengan keadaan kepala keluarga yang sudah berusia lanjut. Meski begitu sang kakek terkenal sangat menjaga kebugaran dengan rajin berolah raga.
Di dunia bisnis tidak ada yang tidak mengenal
"Kemana saja kamu selama ini? Mengerjakan proyek makanan?" tanya si kakek.
Rexton mengangguk. "Begitulah, Kek."
"Bagus! Kamu sudah dewasa, belajar mandiri biar kelak bisa memimpin perusahaan."
Terdengar deheman dari depan Rexton. Kakak sepupu tertuanya yang bernama Martin mengeleng cepat. Seakan tidak setuju dengan kata-kata sang kakek soal Rexton. Di sampingnya sang istri yang berwajah bulat dengan rambut ikal sibuk menyendok makanan untuk anak mereka yang berumur lima tahun. Bocah laki-laki pendiam dengan kacamata. Rexton cukup menyukai bocah itu tapi tidak dengan orang tuanya yang selalu bersikap sinis.
"Kek, kenapa nggak adil gitu? Yang ditanya cuma Rexton. Padahal aku dan Edy kerja banting tulang tiap hari."
Edy, laki-laki yang menginjak tiga puluh dengan tubuh atletis dan berkacamata menyetujui ucapan Martin. "Semestinya kami mendapat apresiasi juga! Mungkin karena setiap hari bertemu kami jadi dianggap tidak ada. Hanya Rexton yang Kakek pedulikan!"
"Bicara apa kalian ini?" Gunar menghardik cucu-cucunya. "Kalian setiap hari di kantor, mendapatkan fasilitas mewah dari ruang kerja, mobil, sampai rumah gedong. Kurang apa lagi, hah?"
"Itu'kan sesuai dengan pekerjaan kami?" sela Martin keras kepala.
"Aku tahu kalian sibuk, pekerja keras juga, karena itu tidak mempermasalahkan kalau kalian menghamburkan uang secara berlebihan. Sedangkan Rexton, jarang ke kantor, tidak pernah pakai fasilitas perusahaan, tapi laporan laba selalu masuk. Memangnya salah kalau kakek apresiasi kerjanya juga?"
"Restoran sudah menghasilkan laba?" Zemima, mama dari Rexton bertanya dengan takjub. Muncul dari dapur dengan membawa piring besar berisi makanan dan meletakkan di depan sang kakek. Lalu memeluk anak laki-lakinya. "Kerena amat kamu, Sayang."
Rexton mengusap lengan sang mama yang melingkari bahunya. "Sedang belajar, Mom."
"Anak hebat, pantas saja Kakek bangga padamu."
Gabino sibuk menyuap makanan, tidak mengatakan apa pun pada istri dan keluarga yang lain tentang aktivitas anaknya. Ia tahu apa yang dilakukan Rexton selama ini di luar, berapa banyak laba yang dihasilkan, dan semua hal yang direncanakan. Rexton selalu melaporkan setiap tindakan padanya, terkadang melaluia Barry atau Riona. Tidak perlu harud diumbar agar orang-orang tahu. Rexton juga sepakat untuk tetap diam dan bekerja dengan tenang.
"Kenapa diam saja? Kamu nggak bangga pada anak kita, Pi?" tanya Zemima pada suaminya.
Gabino tersenyum simpul. "Bangga tentu saja." Satu kalimat pendek dan hanya itu, Gabino tidak ingin mengumbar pujian. Pandangan matanya bertemu dengan Rexton dalam satu pemahaman yang sama. Saat berkumpul seperti ini, tidak perlu banyak bicara untuk menghindari perselisihan.
"Bagus, mumpung kita berkumpul malam ini. Kita bersulang, makan yang enak, dan saling mengakrabkan diri demi keluarga Genaro!"
Semua orang mengangat gelas mereka dan bersulang, Rexton menyesap minumannya dan mendengarkan percakapan yang bergulir di sekitar meja. Martin dan Edy tidak lagi menyerangnya, mereka sibuk dengan keluarga masing-masing. Sang kakek mengobrol dengan Gandhi, si anak bungsu. Sementara anak tertua, Guma sedang terlibat diskusi dengan Gabino. Pendiri Genaro Group adalah sang kakek yang bernama Gunar, mempunyai tiga anak laki-laki yaitu Guma, Gabino, dan Gandhi. Guma memiliki satu anak laki-laki yaitu Martin. Sedangkan Gabino punya dua anak Rexton dan Riona. Sedangkan Gandhi punya dua anak laki-laki dan perempuan, Edy dan Ema. Sekarang ini Ema tidak ada karena kuliah di luar negeri. Ditambah dengan para menantu dan cucu, keluarga Genaro terhitung cukup besar.