Pukul sepuluh malam, Sara baru tiba dengan taksi. Masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi pagi—crew tee, relaxed pant, dan udara malam yang dingin menyusup melalui sela-sela syal di lehernya. Ia memasuki hallway dengan perlahan, kali ini memilih menggunakan tangga untuk turun ke dapur terlebih dahulu. Berniat menghabiskan anggurnya yang masih tersisa.
Lampu di ruang tengah dan dapur sudah padam, menciptakan suasana sepi yang dramatis. Seharusnya Adam sudah tidur di kamar, kan?
Sara berjalan pelan menuju dapur, berusaha tidak menimbulkan suara. Ketika sedang membuka lemari es, lampu tiba-tiba menyala, ia tersentak. Membuat kakinya tergelincir, dan ia jatuh terduduk di depan lemari es. "Shia!" (shit) serunya dengan suara tertahan. Ia memegang bagian kepala yang terbentur. Matanya berkedip cepat, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya mendadak yang menusuk.
Adam, yang ternyata belum tidur, langsung berlari ke dapur. "Ra?" Ia berjongkok di depan Sara. Tangannya bergerak cepat, menyentuh kepala Sara di tempat yang terbentur, seolah berusaha meredakan rasa sakit yang dirasakan perempuan itu.
Sara mendongak, menatap Adam yang begitu cemas. Ada kehangatan dalam sikapnya yang telaten, meski matanya terlihat letih.
"Dikompres, ya?" tawar Adam, segera beranjak mengambil ice bag dari freezer.
"Nggak, mau tidur," Tentu saja ini kebohongan besar. Selain rasa sakit di kepala, gengsi yang terluka adalah masalah sebenarnya. Tapi Adam menatapnya tajam.
"Jangan langsung tidur."
Nada suara Adam membuatnya sulit membantah, jadi Sara menyerah dan mengikuti arahan, duduk di sofa ruang tengah. Dan melihat bouquet blue hydrangea di meja, warna biru pucat yang lembut.
Yang mana diketahuinya sejak dulu, telah menjadi simbol rasa syukur dan permintaan maaf. Salah satu kesukaannya, setelah mendengar mitos di Jepang yang menceritakan kisah seorang kaisar, setelah membuat perempuan yang sangat dicintainya marah karena mengabaikannya demi pekerjaan, memberikan seikat blue hydrangea sebagai isyarat tulus penyesalan dan harapan untuk dimaafkan oleh perempuan tersebut. Keindahannya yang lembut dan rapuh bak rentannya hati manusia, perlu pengertian dan belas kasih. Warna birunya yang menenangkan, seperti permukaan air yang tenang, sebagaimana melepaskan dendam dan melangkah dengan lembaran baru yang bersih. Konon memberikan seikat blue hydrangea kepada seseorang berarti menyatakan bahwa penerima, sama penting bagi pemberi seperti detak jantungnya sendiri.
Langkah kaki terdengar mendekat, mengalihkan lamunannya. Adam muncul dengan ice bag di tangan, menghampirinya tanpa berkata-kata. Duduk di samping Sara, begitu dekat hingga aroma khasnya—exotic sea breeze, hint of cocktail—menguar, membuat Sara menahan napas sejenak.
Adam menempatkan ice bag di kepala Sara dengan lembut, lalu menekan perlahan di area yang terbentur. "Is it hurt?" tanyanya dengan suara rendah, hampir berbisik.
Sara mengangguk, meski rasanya lebih kepada rasa canggung daripada nyeri di kepala. "Sedikit," jawabnya pendek.
Adam tidak berkata apa-apa lagi. Hanya terus memindahkan ice bag dengan penuh perhatian, tangannya sesekali mengelus rambut Sara secara refleks, seperti sedang menenangkan anak kecil yang baru saja terjatuh. Sara tak bisa memutuskan apakah ia merasa terhibur atau malah semakin tidak nyaman. Bukankah seharusnya Adam marah?
Ada sesuatu yang hangat dari perhatian kecil sedari tadi, cukup hangat untuk membuatnya menyerah. "Udah, much better," tambahnya, mencoba memotong percakapan yang membuatnya semakin sadar akan jarak yang begitu dekat di antara mereka. Kenapa rasanya jadi lebih awkward? Bahkan daripada saat awal mereka bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Sweeter Place
RomanceAdam Wisnuthama Wardana, General Manager salah satu hotel dan resor prestisius di Indonesia, The Eden. Dikenal sebagai pria charming pewaris imperium bisnis real estate dengan hobi melancong ke negeri orang. Bertemu banyak mata namun tak ada yang ia...