Sebelas🍁

5.7K 289 3
                                    


••

Saat ini, Barra tengah berada dimarkas Dark Devils. Memantau perkembangan rekrutan baru serta melihat data pemasukan.

"Untuk transaksi organ malam tadi harus gagal karena polisi mengetahuinya. Lokasinya pun dikepung sehingga banyak anggota kita yang tertangkap." Ujar Adrian.

Barra yang tengah duduk disebuah sofa panjang menggeram tertahan. Bukan karena perkataan Adrian, namun ulah salah satu bawahannya yang tengah mengulum penisnya dengan begitu rakus.

"Yeah——fuck!" Barra mendorong kepala submissive itu membuat penisnya menekan kerongkongan sang submissive hingga tersedak.

"Enghh—uhuk!"

Adrian geram melihatnya.

"Yaa! Sialan kau mendengarku tidak?!" Kesal Adrian sembari melemparkan buku ke arah Barra.

"Mengganggu saja bastard." Barra mendorong pemuda yang tadi mengulum penisnya hingga kulumannya terlepas, memakai kembali celananya lalu meminta pemuda itu untuk keluar dari ruangannya.

"Hormon berjalan bajingan, kau mendengar apa yang tadi aku katakan tidak hah!?" Geram Adrian, ia dengan sabar menjelaskan situasi aliansi sekarang tapi teman sekaligus atasannya itu malah menggeram keenakan karena kuluman salah satu bawahannya.

"Aku tidak tuli. Biarkan saja mereka yang tertangkap——lagi pula mereka tidak mungkin berani buka mulut soal Dark Devils." Ujar Barra lalu menghisap cerutunya dengan khidmat.

"Benar-benar tidak punya hati. Mereka bawahanmu yang rela mati untukmu brengsek."

"Sudah seharusnya mereka begitu." Adrian merotasikan bola matanya malas, tidak pernah sekalipun Adrian mengenal manusia yang lebih kejam dan tidak punya perasaan selain Barra Bamantara.

••

"Sstt." Dylan mendesis saat Abila menempelkan kapas bercampur alkohol pada luka cambukan dipunggungnya.

"Kak Dylan, bertahanlah sebentar lagi eum? Aku pasti akan membantumu lepas dari kakakku yang brengsek itu." Ujar Abila, menatap lirih pada luka dipunggung Dylan.

Terdapat luka cambukan, gigitan dan juga kissmark yang berwarna kemerahan yang terlihat begitu jelas di kulit putih pemuda cantik itu.

"Kau tidak usah khawatir Abila. Aku pasti bisa bertahan, lagi pula ini tidak seberapa. Aku masih sanggup menerima hal kejam dari tuan Barra." Jawab Dylan, menunduk menatap lantai dengan senyuman teduhnya.

Siang tadi saat Dylan sedang membersihkan mansion, Abila datang mengunjunginya. Namun, ia harus meringis tat kala wanita manis itu menyentuh pinggangnya dan Abila memaksa untuk melihat tubuh Dylan.

Dan seperti dugaan Abila kalau tubuh Dylan terluka karena ulah Barra.

"Maaf... Maaf karena kak Dylan harus berada dimansion ini."

Dylan membalikan tubuhnya, menatap Abila yang matanya sudah sangat berkaca-kaca hendak menangis. "Hei, ini semua bukan salahmu Abila. Aku tidak masalah dengan takdir yang menempatkanku ke situasi ini——karena apapun itu aku akan menerima takdirku sekalipun hanya rasa sakit yang aku dapatkan."

Abila tidak bisa menahan air matanya lagi, ia segera memeluk Dylan dengan pelan karena takut membuat pemuda itu kesakitan.

"Kenapa kau baik sekali?! Aku tidak rela melihat kak Dylan hidup menderita seperti ini karena ulah pria sialan itu!"

Dylan tersenyum tipis, "Dia tetap kakakmu. Bersikap sopanlah pada tuan Barra, eum?"

Abila tidak menjawab permintaan Dylan. Dia begitu kesal pada kakaknya itu yang selalu semena-mena pada semua orang.

"Woah~ obrolan kalian terdengar menyenangkan. Bolehkah aku bergabung?"

Dylan dan Abila menoleh pada Niko yang menghampiri mereka bersama Arvin.

"Untuk apa kau kemari?" Ketus Abila, menatap kedua pria itu dengan malas.

Niko meletakan jari dibibirnya seolah tengah berpikir, "Emm, hanya menyapa mungkin? Aku takut jalang ini mati karena hukuman Barra."

Dylan menundukkan kepalanya, sekarang ia sadar kalau tawaran Niko kemarin hanya sebuah jebakan saja. Betapa bodohnya, dia malah mempercayai Niko begitu saja yang pada dasarnya begitu membencinya.

"Jaga bicaramu Niko." Abila menatap tajam sosok Niko yang kini melipat tangannya didada.

"Kabur dari mansion dan menyebabkan Barra marah besar, Abila apa kau masih ingin membelanya?"

"Kenapa? Apa kau merasa rencanamu gagal? Kau berharap kak Barra menghukum kak Dylan diruang eksekusikan? Biar aku kasih tahu rahasia kecil padamu Niko." Abila mendekati Niko dan kini mereka saling berhadapan.

Abila mendekatkan wajahnya lalu berbisik lirih, "Kakakku tidak akan pernah menghukum Dylan ditempat seperti itu. Karena kak Barra menghukum kak Dylan tidak jauh dari seks. Aku tahu kau merasa terancam dengan keberadaan kak Dylan dimansion ini."

Niko mengepalkan tangannya, merasa kesal dengan apa yang Abila katakan.

"Dia hanya boneka Barra, untuk apa aku takut pada jalang yang akan dibuang nantinya." Ujar Niko sambil menatap Dylan yang menunduk.

"Barra, dia hanya belum bosan menggunakan tubuh kotornya. Cepat atau lambat dia pasti akan membuangnya——persis seperti saat Barra membuang Nadindra."

Niko menyeringai saat melihat mimik wajah Abila yang menegang karena ucapannya. Ia pun memilih pergi dari sana diikuti Arvin dari belakang.

••

Malam harinya, Dylan tengah melamun dibalkon kamar tempat ia tidur. Tubuhnya terduduk dengan kepala menumpu pada lipatan tangan yang tertahan di siku kakinya.

"Siapa Nadindra?" Gumam Dylan, surai kelamnya terombang-ambing karena angin malam.

Ia tengah memikirkan perkataan Niko tadi siang, tentang Nadindra dan kemana sosok itu sekarang setelah Barra membuangnya?

Apa nasibnya akan sama seperti Nadindra? Kalau benar, ia ingin sekali Barra cepat-cepat bosan dengan tubuhnya. Agar ia bisa segera terbebas dari jeratan pria kejam itu.

Sedangkan dibawah, tanpa Dylan sadari sosok Barra tengah menatap Dylan yang berada dibalkon. Terus menatapnya sambil menghisap rokoknya.

"Brengsek, kenapa dia begitu indah dimataku?" Monolog Barra saat melihat wajah Dylan terterpa angin membuat rambutnya menari kesana-kemari.

"Sudah sebulan lebih aku menggunakan tubuhnya. Tapi kenapa aku tidak pernah merasa bosan sekalipun padanya? Sial."

Alasan Barra akhir-akhir ini sering bercinta dengan pemuda lain selain Dylan. Ia ingin membuktikan kalau bukan Dylan lah yang memberikan rasa begitu nikmat pada penisnya.

Tapi ternyata perkiraannya salah, ia bercinta dengan pemuda manis lain pun tidak bisa menghilangkan bayangan Dylan dibenaknya.

Membuang rokoknya sembarangan, Barra lantas segera masuk ke dalam mansion.

"Tuan, anda sudah pulang? Ingin saya siapkan sesuatu?" Barra menatap Arvin yang menyambutnya. Ini sudah malam, biasanya Dylan lah yang akan menunggunya tapi Dylan sekarang berada dibalkon dan Arvin yang menggantikan dalam menunggunya.

"Analmu Arvin."

Arvin tersenyum senang walaupun sedikit terkejut karena sudah sangat lama Barra tidak menyentuhnya sama sekali.

Dengan begitu semangat, Arvin menaikan baju maidnya lalu menurunkan celana dalamnya. Tangan kanannya menumpu pada kepala sofa lalu menunggingkan bokongnya serta tangan kirinya membuka belahan pantatnya sendiri.

Agar Barra dapat melihat lubang analnya yang berkedut minta dipuaskan.

"Fuck me daddy, rough and harder~" Ujar Arvin begitu sensual membuat Barra menggeram tertahan.

Membayangkan bagaimana jika Dylan bersikap nakal dan binal seperti ini.

Apakah akan mengganggu kewarasannya atau tidak.

••

TBC

Cinta Seorang Mafia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang