Bab 1

9 1 6
                                    

Dimensi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dimensi

Tangan mungilku meraba bgaian pundak. Ia juga menekan-nekan bagian itu hingg merasa nyaman. Tak berlangsung lama, indra pendengaranku mulai mendengar suara ketukan dilantai. Semakin lama semakin dekat. Manik mataku melirik kesebelah kiri. Benar saja di ujung lorong tepatnya di pintu ada sahabat karib yang datang menegur.

"Malam ini biar gua aja yang beresin. Lo pulang duluan aja. Lagian muka udah pucet begitu," pungkas Rania.

"Udah, tanggung ini." Tolakku.

"Emang suka ngeyel ya kalau dikasi tahu!" geram Rania. Sudah jengah melihat wajahku dia menggeretku untuk menghadap kaca. "Noh! Muka Lo udah kaya kertas ha-pe-es, putih bener. Kagak ada rona merah atau pink-pinknya samsek." Rania mengomeliku ala ibu-ibu.

Nada bicara penuh rasa kesal selalu ia tampilkan saat aku mulai dalam kondisi tak mengenakkan pandangannya. Dia memang setiap hari begini. Sehari tidak menggerutu saja, bibirnya pasti gatel kurasa. Eh, iya, dia itu rekan kerjaku sekaligus sahabat yang paling mengerti bagaimana pun kondisiku setiap saat. Aku mau bersin pun dia tahu betul.

Maklum saja kami sudah berteman dari zaman badan masih dengan ukuran minimalis alias bogel sampai seglow-up ini. Jadi sudah kenal luar dalam. Apapun tetang Rania aku tahu dan begitu juga dengannya. Eits! Tapi tunggu dulu, tidak sebagian dalam-dalamnya pakaian juga. Jangan negative thinking, aku masih waras dan normal. Menurutku.

"Ya lagian Gua di sini kerja, Ran. Bukan mau ngedangdut. Lo pikir Gua biduan kali!" Aku menepis kedua tangan Rania yang sedari tadi memegangi pipiku menghadap kaca.

"Gua mau tetep di sini aja. Bokap belum tidur pasti." Seketika mukaku sedih.

Mimik wajahnya yang cerah pun sudah redup karena iba padaku. Rania yang paham maksudku langsung saja mengangguk prihatin. Dia menyuruhku untuk duduk karena sudah hampir ambruk karena kelelahan. Seperti tak punya sisa energi lagi, langkahku gontai menuju kayu persegi panjang dengan kaki penopang yang kokoh.

"Mel, Lo nggak coba pindah tempat tinggal? Lo tinggal sama gua aja. Bokap Lo juga pasti nggak bakal nyari." Ujar Rania sambil mencuci piring.

Bola mataku tak berkedip, otakku juga mencerna apa yang baru saja dikatakan gadis didepanku ini. Benar apa yang dikatakan Rania. Ayah tidak akan mencariku. Kecuali saat uang yang ada di kantongnya sudah habis lenyap tak bersisa untuk minum dan judi. Setelah lahir kedunia, wanita berparas cantik yang selalu kupanggil dengan sebutan Bunda meninggal.

Tak seperti gadis lain. Aku bertemu dengan Bunda dengan hanya menatap benda terbungkus rapi dengan pinggiran kayu berbentuk kotak yang bertengger di atas nakas. Sudah lama aku tak bersua dengan wanita cantik yang sudah bertaruh nyawa demi melahirkanku.

Kini aku jadi tulang punggung keluarga yang membanting tulang sana-sini. Padahal aku adalah anak tunggal. Kehidupan keluarga makin tak karuan, bisa dikatakan hancur. Hal itu terjadi semenjak Ayah kehilangan belahan jiwanya. Saat Bunda tiada. Setiap hari mencari masalah, mencopet, judi dan mabuk-mabukan. Itu sebagai bentuk kehancurannya tanpa sosok kekasih hati.

FOX IS MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang