"Cuaca dingin sialan."
Gerutuan kakeknya membuyarkan lamunan Freen. Dia mengangkat wajah dan melihat kakeknya berjalan memasuki dapur apartemennya dengan balutan jubah tidur yg tebal dan langkah yg tertatih-tatih.
"Selamat pagi, Pop. Tidurmu nyenyak?" sapanya, lalu menyesap kopinya yg ternyata sudah dingin. Astaga, sudah berapa lama dia duduk melamun di meja sarapan?
"Tidurku baik-baik saja," sahut kakeknya serak.
"Kau tidak menyalakan pemanas di sini?"
"Sudah. Kau masih merasa kedinginan?" kata Freen sambil memandang berkeliling. Seluruh apartemennya terasa hangat dan nyaman.
"Aku benci cuaca dingin," gerutu kakeknya sambil duduk dengan susah payah di hadapan Freen di meja sarapan.
"Tuangkan secangkir kopi untukku, Nak."
Freen menurut, dengan cepat menuangkan kopi panas ke dalam cangkir dan mendorong cangkir itu ke seberang meja ke arah kakeknya. Lalu dia menuangkan secangkir kopi panas lagi untuk dirinya sendiri.
"Jadi bagaimana menurutmu?" tanya kakeknya tiba-tiba.
"Apa?" Freen balas bertanya, kemudian menyesap kopi panasnya dengan perasaan lega.
"Apa pendapatmu tentang Rebecca? Aku sudah memberimu waktu semalaman untuk memikirkannya."
Freen sudah tahu kakeknya tidak mungkin melupakan masalah yg satu itu. Kemarin malam ketika Freen mengantarnya pulang, kakeknya sama sekali tidak mengungkit tentang Rebecca Armstrong. Sepanjang perjalanan, kakeknya membicarakan hal-hal lain.
"Dia manis bukan? Kau seharusnya berterima kasih kepadaku karena aku sudah memilihkan tunangan semanis Rebecca."
Freen mendesah keras.
"Kalau kau begitu menyukainya, kenapa bukan kau saja yg bertunangan dengannya?"
"Ha! Seandainya saja aku lima puluh tahun lebih muda,"
"Seandainya saja Nana mendengarmu berbicara seperti itu," balas Freen.
"Jangan bawa-bawa nenekmu kedalam masalah ini. Aku yakin mendiang nenekmu pasti menyetujui pilihanku untukmu."
"Dengar, Pop." kata Freen serius.
"Aku mungkin sudah terbiasa dengan selera humormu yg aneh, tapi Becca tidak. Jadi sebaiknya kau tidak mengungkit masalah pertunangan di depannya."
"Tapi dia sudah tahu."
"Apa?"
"Kemarin ketika kau pergi mengambil minuman untukku, Becca kembali ke meja setelah berdansa dengan kakaknya." kakeknya menjelaskan.
"Aku berkata padanya bahwa seharusnya kau mengajaknya berdansa mengingat kalian sudah bertunangan."
"Apa?!"
"Dia menatapku seolah-olah aku sudah gila."
"Tentu saja dia berpikir kau sudah gila! Dia... Kau... Aku..." Freen menggerak-gerakkan tangannya dengan liar, tidak bisa menemukan kata-kata yg tepat. Akhirnya dia mendesah keras dan menghempaskan punggung ke sandaran kursi.
"Demi Tuhan, Pop, dia sudah cukup membenciku tanpa perlu diberi alasan tambahan."
"Kenapa kau berpikir dia membencimu?" tanya kakeknya dengan alis berkerut.