BAB 14

9 4 0
                                    

BAB 14

AWAN hitam menutupi langit biru pertanda hujan akan turun ke bumi. Benar saja genteng sekolah mulai diributkan oleh suara air hujan awalnya gerimis kecil dan berakhir hujan yang lebat.

Kantin tiba-tiba saja ramai oleh manusia yang kelaparan sama seperti Elina yang berada di meja ujung bersama Anzars. Senyum cewek itu selalu mengembang. Cowok didepannya itu sibuk memainkan handphonenya padahal yang Anzars lakukan hanya membuka tutupkan aplikasi media sosialnya.

Anzars menghebuskan napasnya bosan.

"Nggak pegel senyum-senyum terus?" tegur Anzars risih.

Elina menggeleng manis. "Kalau buat kamu, sih, enggak."

Pesanan bakso Elina datang disusul mie ayam Anzars. Elina mengucapkan terimakasih dan pelayan kantin itu pamit melayani siswa lainnya.

Elina menoleh ke arah Anzars yang melahap mie ayam tanpa campuran apa-apa. Rasanya apa nggak hambar?

"Zars, bakso pakai 10 sendok cabai bagus gak buat kesehatan." Elina mulai mengode.

"Menurut lo?"

Anzars balik bertanya membuat cewek itu merungut.

"Aku tanya sama kamu."

"Sesendok aja." Anzars tahu itu hanya kode untuknya, ia tidak mau mengulang kesalahan yang sama membiarkan cewek itu melahap makanannya yang sama sekali tidak bisa cewek itu makan.

"Apanya sesendok?" tanya Elina semakin tertarik.

Anzars berdecak sebal. Ia menghentikan makannya dan menatap balik Elina. "Cabe sesendok, saus setengah sendok, cuka nggak usah ditambahin, kecap sesendok. Cukup?" jelas cowok itu meresep.

Elina menampilkan deretan giginya. "Asiap mas koki!" cewek itu kemudian melakukan resep-resep yang Anzars suruh dan langsung memakannya.

Di sela-sela mereka makan tamu yang tidak diundang berdiri di samping Elina dengan sebungkus donat di tangannya. Sekenyang-kenyang perut Elina untuk urusan donat perutnya yang sejengkal itu masih sanggup menampungnya.

"Gua baru tahu selera kita sama." Cowok itu membuka suara seraya meletakkan donat ditangan Elina. Elina tentu saja tahu donat itu donat mahal, beda dengan donat yang biasa ia beli di warung-warung. Dari tampilannya saja sudah mewah begitu, apalagi rasanya pasti enaknya berkali-kali lipat dari yang biasa ia makan.

"Tau darimana?" tanya Elina.

Cowok itu tersenyum. "Seseorang."

Anzars diam-diam memperhatikan perbincangan elina dengan Bima. Seminggu tidak sekolah apakah mereka berdua mulai dekat? Harusnya Anzars tidak peduli tapi kenapa rasanya terasa asing melihat Elina mulai akrab dengan cowok lain.

"Pasti mahal, kan, Bim. Lo kalau beli donat jangan mahal takut gua nanti tiba-tiba lo tagih. Tau sendirikan gua gak sekaya lo." Ujar Elina menolak donat Bima walaupun ia sangat tergiur.

"Gua gak lagi jualan El. Ambil saja lagian nggak mahal kok, cuman 50 rebu doang."

Elina menganga, donat sebiji itu 50 ribu? Mahal banget, kalau dibandingkan dengan donat warung uang 50 ribu dapat 25 donat. Dapat gratisan malah.

"Ini 50 rebu? Donat premium apa?" elina menggeleng heran.

Bima terkekeh gemas dengan tingkah Elina. Ia mengacak pucuk kepala Elina tanpa melihat tatapan tajam yang tengah menghunus dirinya. Anzars seperti tidak dianggap ada disini. Anzars bagai patung hidup yang menonton aksi kedekatan mantannya dengan Bima.

Cuaca terasa dingin tetapi Anzars merasa panas di sini.

"50 rebu kecil buat gua El."

"belagu banget!"

"Jangan lupa dimakan ya, El." Ucap Bima, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Elina dan berbisik halus. "Mantan lo cemburu jadi takut deketin lo."

Elina mengerutkan keningnya dan menjauhkan telinganya dari bibir Bima. "Apaan sih. Pigi nggak!"

"Galak bener." Cibir Bima dan kemudian menjauh dari Elina yang mencodongkan garpu ke wajahnya.

"Lagi deket sama dia?" tanya Anzars berusaha tenang.

"Ha? Sama Bima?" elina akui seminggu ini Bima gencar sekali mendekatinya, memberi boncengan pulang sekolah, sesekali mengajaknya ke pantai, nge-chatnya tiap malam, sleep call tiap malam, mengajak Elina makan gratis di kantin, dan banyak lagi hal yang tidak terduga dilakukan cowok itu padanya. "Iya gua sama dia lumayan deket."

Anzars menahan desiran aneh di dadanya seharusnya ia lega karena sudah ada penggantinya. Tapi kenapa rasanya jadi begini? Kenapa ia tidak suka melihat Elina mulai dekat dengan Bima. Sejauh apa kedekatan mereka sekarang.

"Tapi gua deket sama Bima cuman sebagai teman kok nggak lebih" lanjut Elina tidak ingin Anzars salah paham padanya.

"Lo mau mempermainkan dia?"

"Gua nggak merasa bermain dengan dia sekarang. Bima cuman ngasih donat bukan kelereng." Balas Elina dengan polos.

"Dia suka sama lo El!" seru Anzars memberitahu. Sebagai cowok ia tahu tatapan Bima berbeda pada Elina. Bukan tatapan sebagai teman tapi tatapan lebih dari teman—tatapan suka.

Pernyataan Anzars membuatnya bingung tidak mungkin Bima suka padanya. Mereka akrab baru-baru ini dan masa-masa Mos dulu yang waktunya cukup singkat. Jadi ucapan Anzars tidak benar menurut Elina itu hanya perasaan Anzars sendiri.

"Dan aku sukanya kamu."

Entah senang atau sedih yang Anzars rasakan lega. Elina masih elina yang dulu, Elina yang masih menyayanginya. Ia pikir kehilangan dirinya selama seminggu membuat Elina melupakannya dan mencari pengganti dirinya. Pada akhirnya hatinya tersenyum dengan pengakuan Elina.

"Zars, hidung kamu berdarah."

Anzars menyentuh hidungnya yang mengeluarkan cairan kental warna merah. Ia mengambil tisu dari saku samping celana dan melap darah itu kasar. Anzars tidak ingin terlihat lemah dihadapan Elina.

Elina menatap cowok itu khawatir ia ingin mendekat tetapi Anzars memberi aba-aba berhenti dari gerakan tangannya.

Anzars mengeluarkan uang dari dompet sebab tahu Elina tidak punya uang untuk membayar pesanan mereka.

"Bayar!" ucap Anzars menahan sakitnya.

"Zars?" tanya Elina bergetar. "Kamu kenapa?"

"jangan mendekat, jangan tanya, dan jangan ngikutin gua kalo gua mau baik-baik saja." Anzars berdiri dan lari meninggalkan Elina yang tengah teriak memanggil namanya.

Elina tidak tahu apa yang disembunyikan Anzars darinya. Ia memejamkan matanya. Apa Elina tidak sepenting itu bagi Anzars?

-TBC-

AnzarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang