the beginning

338 28 3
                                    

"SIALAN! ENDING SIALAN!"

"Berisik, Yer. Lo nggak malu apa? Kita diliatin orang, tuh!" Lelaki bertumbuh pendek itu mendelik ke arah Yeraz. Lelaki dengan kulit putih pucat dengan rambut hitam kecoklatan yang ia curly.

Yeraz melirik ke arah samping kanannya. Menetralkan deru napasnya yang memburu karena kesal. "Lo tau manhwa yang gue baca akhir-akhir ini 'kan?"

"Yang tokohnya Arien Carish sama Kaiser Willer?" Yeraz mengangguk cepat. Teman kecilnya ini emang tau segalanya tentang dirinya. "Kenapa sama Arien? Terakhir lo curhat dia udah bahagia, tuh?"

"Itu dia! Dengan brengseknya Si Author malah buat pemeran lain, yang jadi selirnya Kaiser! Namanya Senna Calix. Dan lo tau, dia yang akhirnya malah jadi ratu!"

"So, kenapa? Dia cewek. Panggilannya pasti ratu 'kan?"

Yeraz menggeram kesal. "Tapi gue lebih nge-ship Kaiser sama Arien."

Arthur— teman kecil Yeraz —menggelengkan kepalanya. "Aneh lo. Arien tuh, masokis jadinya kalau sama Kaiser."

Yeraz merenung. Jika dipikir secara keseluruhan, memang peran Arien disini adalah seseorang yang disakiti oleh Kaiser. Arien hanya dimanfaatkan oleh Kaiser demi kejayaan Kerajaan ya. Berpura-pura mencintai Arien dan selalu membuat Arien senang agar terus bisa bersamanya. Tapi di ending, Kaiser dengan teganya membuat Arien diasingkan setelah melahirkan anaknya.

Dan, otomatis selir yang dicintai oleh Kaiser yaitu Senna Calix yang naik tahta.

"Arien juga terlalu bodoh menurut gue. Harusnya waktu dia tau kalau Kaiser dan keluarga kerajaan manfaatin anak yang dia kandung, Arien harusnya langsung marah. Kalau bisa kabur kek. Nggak sayang anaknya apa?"

"T-tapi 'kan ada pepatah—"

"—Cinta datang karena terbiasa?" Arthur tertawa geli. "Hal kayak gitu, nggak akan pernah ada. Gue nggak percaya."

Yeraz berubah lesu. Masih memikirkan ending komik yang ia baca jauh dari ekspektasinya. Ia kira semuanya akan bahagia, tapi ternyata jauh dari kata bahagia.

Kaiser, raja baru itu sangat kejam.

"Sekarang malah ngelamun. Ayok, masuk! Filmnya udah mau mulai tuh!"

Arthur berjalan lebih dahulu. Toh, meski ditinggalkan duluan, Yeraz pasti tau letak tempat duduk mereka di dalam bioskop nanti. Yeraz juga bukan anak kecil yang harus ia tuntun.

"Tunggu, Thur!"

"Cepet! Lo lama, gue nggak mau ketinggalan liat Levi."

"Dasar wibu!"

"Wibu teriak wibu?"

"Bacot!"

───⋅•⋅⊰∙∘☽ ✦ ☾∘∙⊱⋅•⋅───

"Seriusan lo masih mikirin Arien? Udah dua Minggu, Yer. Lo—Akh! Yang bener aja, kenapa?"

Jujur saja, Arthur benar-benar frustasi harus menghadapi temannya yang satu ini. Padahal yang ia sedihkan hanya sebuah cerita fiksi. Yang entah pembuatnya saja memikirkan perasaan pembaca atau tidak.

Tapi Yeraz? Lelaki itu mendramatisir sekali. Ingin rasanya Arthur jauhkan aplikasi manhwa atau bahkan komik-komik Yeraz yang lainnya.

"Bukan, Thur. Ini masalah lain, lebih rumit." Yeraz menelungkupkan kepalanya di atas lipatan tangan. Hembusan napas kasarnya terdengar begitu nyaring di telinga Arthur.

"Jadi, kenapa? Lo bisa cerita sama gue." Yeraz mendongak. Memperhatikan wajah Arthur dengan seksama. Ia takut Arthur tak percaya. "Biasa aja kali tatapan lo. Kenapa, sih?"

Dengan hembusan kasar sekali lagi, Yeraz akhirnya memberanikan diri. "First of all, gue nggak maksa lo buat percaya. Tapi ... gue ngerasa semuanya nyata. Perasaan gue akhir-akhir ini juga jadi nggak tenang."

"Arien—"

"Tuh 'kan! Masalah lo tuh nggak jauh—"

"Thur! Gue belum selesai." Akhirnya Arthur diam setelah Yeraz menyelanya tadi. "Gue akhir-akhir ini mimpi ditemuin sama seseorang. Pakaiannya putih, tapi lusuh juga kuno menurut gue. Tatapannya sendu, seolah dia jug udah putus asa."

"—Dan lo tau, dia kenalin dirinya sebagai siapa?" Arthur dengan reflek menggeleng. "Arien Carish! Aduh!"

Jangan heran, suara mengaduh itu dihasilkan dari jitakan kencang Arthur ke kepala Yeraz. "Gue buang juga manhwa-manhwa lo, anjing!"

Arthur sudah kepalang emosi. Sungguh demi apapun! Bagaimana bisa ada manusia seperti temannya ini? Manusia seperti Yarez? Arthur lelah!

"Gue serius, Thur! Katanya, dia minta tolong. Minta tolong supaya gue selamatin suami sama anaknya. Kayak—apa banget, coba? Mereka 'kan fiksi! Mana bisa gue selamatin, ya 'kan?"

"Itu lo tau kalau fiksi. Nggak perlu dipusingin lah!"

Yeraz mengangguk. Benar juga, sih apa yang dikata Arthur. Mungkin karena ia terlalu sedih dan kesal karena akhir cerita yang jauh dari ekspektasinya, membuatnya terbawa mimpi. Lagi pula, mimpi hanya bunga tidur.

"Ya udah, gue balik dulu deh. Adek gue nungguin di rumah. Nyokap belum balik pasti soalnya."

"Mau gue anter?" tawar Arthur. Hari sudah larut. Ya, meski Yeraz juga seorang lelaki. Tapi tetap saja, perasaan Arthur agak gundah.

Yeraz tersenyum manis. "Perhatian amat. Lo suka sama gue, ya?"

"Enyah lo!"

───⋅•⋅⊰∙∘☽ ✦ ☾∘∙⊱⋅•⋅───

Dering ponsel yang nyaring mengalihkan perhatian Arthur dari bacaannya. Ia lirik ponsel itu sekejap, tanpa melihat siapa yang menelepon ia mengangkatnya. "Halo?"

"Halo, Kak Ar. Kak Yeraz nginap di rumah kakak, ya?" Rupanya dia adalah dari dari temannya, Yomira.

Dahi Arthur mengerut. "Nggak ada, tuh. Dia udah balik dari satu jam yang lalu." Arthur melihat ke arah jam yang terpasang di dinding. Harusnya tidak sampai selama itu untuk sampai di rumah Yeraz. Biasanya hanya membutuhkan waktu lima belas menit, tapi kenapa satu jam berlalu Yeraz belum sampai?

"Lo di rumah?"

"Iya, Kak."

"Ya udah, biar gue cari Yeraz dulu. Jangan lupa kunci gerbang sama semua pintu, Mi."

Setelah itu sambungan diputuskan oleh Arthur. Ia mendial nomor Yeraz. Beberapa kali sambungan tidak tersambung. Selalu dialihkan. Apakah baterai ponsel Yeraz habis?

Arthur segera bangkit, mengambil jaket denim miliknya. "Aneh-aneh aja lo, Yer."

Tapi sebelum ia berhasil mengambil kunci mobil, layar ponselnya kembali menyala. Nomor Yeraz tertera di sana.

"Halo, Yer. Lo di mana? Yomi—"

"Halo, Mas. Mas temannya pemilik ponsel ini?"

Apakah Yeraz bisa berubah jadi wanita? Kenapa suaranya berubah? "Anda siapa? Teman saya mana?"

"Pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan, Mas. Sekarang sedang di bawa ke Rumah Sakit Dimitri."

"Saya ke sana sekarang."

───⋅•⋅⊰∙∘☽ ✦ ☾∘∙⊱⋅•⋅───

"Maaf, aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan orang-orang yang kamu sayang, Yeraz. Tapi hanya kamu yang bisa menyelamatkan anakku dan suamiku. Aku berjanji, setelah semua selesai kamu bisa pulang."

"Aku mohon, Yeraz. Ubah takdirnya menjadi lebih baik."

───⋅•⋅⊰∙∘☽ ✦ ☾∘∙⊱⋅•⋅───

Gatel banget pengen buat cerita transmigrasi gini, meski lebih ribet.

Ini selingan deh. Klo ga mood nulis Sugar, aku bakal tulis LRTS ini :)

Bye byee (⁠灬⁠º⁠‿⁠º⁠灬⁠)⁠♡

Let's Rewrite The StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang