1

288 22 12
                                    

Namjoon melangkah masuk ke sebuah restoran yang belum pernah didatanginya dengan langkah gontai. Night club tempatnya bekerja sebagai security sedang tidak ramai malam ini. Artinya pekerjaannya lebih mudah, tapi juga semakin sedikit pengunjung yang cari masalah. Artinya tidak ada uang tambahan dari sogokan agar mereka tidak diusir.

Tanpa pikir panjang ia duduk di kursi pertama yang diliriknya dan langsung mengangkat tangan untuk memanggil waiter.

Ia melemparkan pandang dan melengos pasrah. Penerangan remang-remang di restoran ini bahkan tidak bisa menutupi interiornya yang sudah tua dan kumuh. Panel kayu dinding tampak tertutup lapisan kehitaman karena usia dan dinding yang berwarna muram penuh goresan tulisan inisial disana-sini.

Namjoon menghela napas lagi. Paling tidak melihat setengah restoran ini terisi para mahasiswa memberi kepastian kalau harga makanan di sini tidak begitu mahal. Dan mudah-mudahan juga rasanya enak.

"Ini meja untuk empat orang." Suara yang dingin menyapanya.

Namjoon terkejut melihat seorang pemuda berkulit pucat berdiri di sebelahnya dengan pandangan kosong. Sontak ia melihat ke bawah, lalu menghela napas lega bahwa kaki pemuda itu menapak lantai. Lalu ia merasa malu sendiri saat pemuda itu mengernyitkan mata sinis seakan mengetahui apa yang Namjoon lakukan.

"Kucarikan meja baru. Ini meja untuk empat orang." Ia mengulang perkataannya.

"Restorannya kosong. Aku bisa pindah saja nanti." Namjoon menjawab acuh, balas memberi tatapan sinis. Ia memutuskan untuk melanjutkan kalimatnya, sungguh perasaannya sedang sangat buruk dan pelayan ini malah mencari masalah. "Dan bukankah kau seharusnya menyapa pelanggan dengan 'Selamat datang, ini menu kami, silakan panggil saya kalau ingin memesan."

"Menunya di depanmu." Tanpa pikir panjang pemuda itu menukas. "Sudah tahu mau pesan apa?"

Namjoon mendelik. Tapi dengan cepat ia membuang muka dan membuka-buka menu. Upaya mengintimidasinya gagal total karena si pelayan sama sekali tidak bergeming dengan gertakannya. Berkedip saja tidak.

"Hot chocolate." Namjoon akhirnya memesan minuman yang berada di paling atas menu. Dilemparkannya menu itu ke lantai. Ia ingin menunjukkan betapa ia tersinggung diperlakukan tanpa keramahan sedikitpun oleh si pelayan.

Si pelayan tidak menulis pesanan Namjoon sama sekali. "Kami menjual berbagai macam bir dan liquor."

"Kenapa kau berpikir aku ingin minuman beralkohol?"

"Orang yang baru keluar dari penjara selalu memesan itu."

"Hah? A-apa kamu bilang?" Namjoon sampai setengah bangkit dari duduknya saking kagetnya.

Pemuda itu malah langsung membalikkan badan dan meninggalkan Namjoon. "Maaf kalau saya salah. Satu hot chocolate. Mohon ditunggu."

Namjoon bengong. Matanya melotot menatap langkah si pemuda menjauh. Ia lalu menghempaskan dirinya ke kursi sambil merasakan detak jantungnya yang menderu. Apa-apaan sih?

Namjoon mengusap wajahnya yang mendadak terasa lengket oleh keringat. Pertama, ia terkejut bahwa ada orang yang sebegitu blak-blakan menuduhkan hal yang tabu begitu. Kedua, bagaimana si pelayan bisa mengetahui kalau ia baru keluar dari penjara?

Ia jadi penasaran. Tidak bisa menahan diri untuk memandangi si pemuda yang sedang menyiapkan pesanannya di belakang counter. Hm, jadi selain waiter dia juga barista.

Namjoon menghela napas. Lampu neon dekorasi berbagai warna yang tergantung di dinding counter membuat fitur wajah si pelayan semakin jelas. "Tampannya..." Namjoon berbisik pada dirinya sendiri.

Mata yang sayu dibingkai alis lurus yang nyaris sempurna. Bibir penuh yang merekah diatas dagu runcing. Dan rambut ikal gondrong yang ujungnya menyentuh tonjolan tulang di bagian bawah tengkuk kurusnya. 

Pemuda itu berbalik memunggungi Namjoon, dan Namjoon langsung merasakan detak jantungnya mencepat melihat siluet bahu lebar yang tegap menyempit di pinggang yang ramping.

Tubuh itu tampak begitu nyaman untuk dipeluk oleh tangan-tangan Namjoon yang kekar. Tanpa sadar Namjoon mengelus pahanya, lalu menggigit bibirnya. Seumur hidup tidak pernah ia bermimpi bisa melihat makhluk seindah itu, apalagi di area ini yang tidak akan disambangi orang-orang yang masih waras. Dan beberapa bulan di dalam penjara tanpa kehangatan tubuh lain membuatnya hanya bisa memikirkan hal-hal vulgar yang ia ingin lakukan pada pemuda itu.

Ini buruk. Namjoon cepat-cepat mengeluarkan ponselnya, lalu membrowsing apapun yang bisa dibrowsingnya. Ia bahkan menahan diri untuk tidak mengangkat wajah saat secangkir minuman panas dengan asap mengepul diletakkan di hadapannya.

Tapi ia bisa merasakan pemuda itu tidak meninggalkannya. Maka dengan ragu diangkatnya wajahnya. Dan ia nyaris tersedak saat mata mereka langsung bertemu.

"100.000 won untuk short time." Si pelayan berkata pelan. "Aku free jam 1 malam."

"Apa maksudmu?" Namjoon berusaha menutupi semangatnya yang memuncak dengan nada bingung dan cepat-cepat meneguk minuman panasnya.

"Kau tahu apa yang kumaksud." Untuk pertama kalinya pemuda itu tersenyum sambil meletakkan beberapa lembar tisu di meja. Ia membalikkan badannya. "Silakan menikmati minumannya. Panggil saya kalau ingin memesan menu lain."

Lagi-lagi Namjoon hanya bisa bengong memandangi si pemuda berjalan menjauh. Lalu diraihnya tisu untuk menyeka keringat di dahinya. Dan saat dilihatnya tisu itu, ia tersenyum.

TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang