Chapter 01: A Wounded Flower

37 4 0
                                    

Joseon, 1882

Hari menjelang fajar saat sebuah rombongan tampak melintasi jalan setapak di area hutan yang terletak di sisi barat kota Hanseong. Lentera yang mereka bawa meredup kehabisan bahan bakar, berayun diterpa angin.

Rombongan tersebut terdiri dari puluhan pria dari beragam usia. Sebagian dari mereka tampak mengendarai kuda yang dipacu pelan, mengimbangi laju mereka yang berjalan kaki di atas tanah berlumpur akibat hujan yang mengguyur sore tadi. Derap langkah mereka memecah keheningan malam.

"Kita baru saja memasuki area hutan, tuan Tamaki. Fajar akan segera tiba, diperkirakan kita baru akan sampai di Jemulpo petang nanti." Ujar salah seorang pria peserta rombongan dari atas kudanya.

Tamaki Hiroshi adalah pria berkewarganegaraan Jepang, berusia 30-an akhir. Ia adalah seoarang kapten Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Sudah hampir 1 tahun pria itu menetap di Joseon, tepatnya setelah pemerintah Josoen yang dipimpin oleh Raja Kim memberikan ijin angkatan bersenjata dari negara berbendera matahari terbit itu memasuki wilayah Joseon.

"Tetaplah waspada. Para pemberontak mungkin saja berada di kawasan ini." Himbau Hiroshi pada anggota rombongan. Mata pria itu menyusuri tiap sudut hutan yang dilaluinya meski tak banyak yang dapat ia lihat. Sekelilingnya tampak gelap. Cahaya lentera seolah tak berdaya menembus gelapnya hutan.

"Anda tak perlu khawatir, Tuan. Saya sudah puluhan tahun melewati hutan ini. Daerah ini aman." Balas Park Heamin. Pria paruh baya tersebut adalah warga Joseon yang bertugas mengantar rombongan ke Jemulpo, tempat proyek pembangunan rel kereta yang didanai oleh pemerintah Jepang saat ini berlangsung.

Mengawal perjalanan para budak yang akan dipekerjakan di Jemulpo bukanlah tugas Hiroshi. Namun, proyek di Jemulpo tersebut tampaknya mengalami kendala. Ia harus turun tangan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.

"Semoga saja demikian. Sayang sekali jika anggota pasukan saya ada yang terluka hanya demi mengawal para pekerja rendahan itu." Lanjut Hiroshi, menunjuk pada para budak yang berjalan kaki di bawah mereka.

Para budak tersebut adalah warga Josoen. Di antara mereka adalah Jang Yoenmin, seorang bocah berusai 9 tahun. Tubuh bocah itu menggigil diterpa dinginya angin malam di kawasan hutan.

"Apakah kita akan bertemu ayah di Jemulpo?" Tanya Yoenmin setengah berbisik pada Jang Yeonhan, kakak laki-lakinya yang berajalan bersebelahan dengannya.

Yeonhan menghela napas mendengar pertantanyaan sang adik. Remaja tersebut memang mendengar kabar bahwa ayah mereka di kirim ke Jemulpo beberapa bulan yang lalu. Namun, jikapun benar ayahnya berada di Jemulpo, ia tak yakin bisa bertemu dengan sang ayah. Ia hanya bisa berharap pria itu dalam keadaan baik-baik saja, di manapun ia berada.

"Tidak usah berharap banyak anak muda. Ku dengar banyak pekerja yang meninggal di sana, ayah kalian mungkin saja salah satunya." Seorang pria tua yang berjalan di belakang mereka menyahut. Baik Yeonmin maupun Yoenhan tak mengenal pria tersebut. Mereka baru bertemu malam ini saat sama-sama digiring menuju Jemulpo.

Mendengar ucapan sang kakek, Yoenmin mencengkram lengan baju kakaknya. Bibir bocah tersebut bergetar.

"Jangan dengarkan dia. Kita akan bertemu ayah di Jemuplo nanti." Jawab Yoenhan berusaha menenangkan adiknya. Ia sendiri tak yakin. Kakek itu benar. Ayah mereka mungkin saja saat ini sudah terkubur di antara tumpukan besi dan bebatuan.

Tangis Yoenmin tercekat. Bocah itu berupaya untuk tidak membuat keributan, namun air matanya mengalir dengan sendirinya.

"Diamlah kalian, berisik sekali!" Bentak salah seorang anak buah Hiroshi. "Jika tidak bisa diam, akan kami tinggalkan kalian di tengah hutan dan menjadi santapan hewan bu-"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 03 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rose of SharonWhere stories live. Discover now