Pemakaman Jenazah nyonya Park sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Matahari sudah hampir tenggelam meninggalkan semburat orange yang indah di pandang.
Seorang pemuda masih berdiri disana memandangi kedua batu nisan kedua orangtuanya yang berdampingan. Pemuda itu tak lagi menangis, hanya berdiri diam dengan tatapan kosong, matanya sembab dan juga wajahnya pucat.
"Apa ibu akan bahagia disana setelah ini?" Tanyanya sambil berjongkok memegang nisan baru itu.
"Ibu, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu, tentang hari-hariku yang menyenangkan maupun hari-hari yang penuh keluh, aku selalu menunggu kapan hari dimana ibu bersama kami lagi, aku selalu menunggu ibu sembuh dan hidup bahagia seperti dulu saat ayah masih ada," dan lagi pemuda itu menangis sesenggukan, "banyak hal yang ingin aku lakukan bersama ibu seperti anak-anak lain dengan orangtua mereka, tak apa jika tanpa ayah tapi kenapa ibu pergi ninggalin Jie, kenapa ibu malah pergi menyusul ayah?,"
"Kenapa semesta begitu jahat pada Jie, kenapa Jie yang harus merasakan semua ini?, Kenapa semesta mengambil semua hal yang berharga bagi Jie?,"
"Meskipun Jie belum ikhlas, Jie berharap Ibu tenang disana, Jie yakin ibu akan bahagia setelah tidak lagi merasakan sakit dan pahitnya kehidupan dunia, ibu pasti senang kerena bertemu ayah,"
"Ibu, Jie kangen sama ibu, datang ya ke mimpi Jie?, Jie pamit pulang ya, Jie sayang Ibu dan Ayah. Jie akan datang lagi untuk menemui ibu dan ayah disini"
Pemuda itu mencium nisan sang ibu sebelum ia benar-benar pergi darisana dengan langkah berat dan perasaan hampa.
******
Chenle membuka matanya pelan, hal pertama yang ia rasakan adalah perih di wajahnya. Luka yang tertutup perban itu rasanya masih sangat perih meski sudah di beri obat.
"Dimana ini?" Gumam pemuda itu sambil menatap ke sekelilingnya, "Rumah sakit?, siapa yang membawaku kemari?"
Pemuda itu mendudukkan dirinya mencoba mengingat apa yang terjadi terakhir kali sebelum ia berada di sini.
"Siapapun kalian, terimakasih sudah membawaku kemari," ucapnya lagi setelah mengingat dimana ia pingsan.
Pemuda itu melepas infusnya kemudian pergi meninggalkan rumah sakit. Tujuannya saat ini adalah asrama, ia yakin teman-temannya saat ini pasti khawatir dan ponselnya juga tidak bisa di hubungi karena kehabisan daya.
Butuh waktu sekitar tiga jam dari kota tempat tinggalnya ke asrama sekolah dengan menaiki kendaraan umum.
Pemuda itu duduk diam sambil menatap keluar jendela yang menampilkan hiruk pikuk kendaraan yang belalu lalang. Pemuda itu melamun, kembali mengingat apa yang terjadi padanya, rasa takut selalu muncul dalam benak pemuda itu. Jika saja dirinya diberi kesempatan untuk memilih ia akan pergi jauh dan tak ingin terlibat dengan keluarga itu lagi, sayangnya sejauh apapun ia pergi untuk melarikan diri sang ibu tiri selalu saja menemukannya. Bagi sang ibu ia adalah monster yang harus di lenyapkan agar tidak menjadi pengganggu dalam keluarga mereka padahal dengan senang hati pemuda itu akan pergi jika saja sang ibu memberi pilihan.
******
Malam berganti pagi, empat orang yang tersisa di asrama berkumpul di ruang tengah asrama. Jisung belum kembali ke asrama sejak kemarin, anak itu masih berduka. Kemarin mereka semua pergi ke pemakaman ibu Jisung dan kembali saat sore hari. Kecuali Jaemin yang sedang sakit dan Chenle yang menghilang entah kemana.
"Apa perlu kita lapor polisi?" Tanya Renjun setelah mereka terdiam cukup lama memikirkan dimana kira-kira pemuda itu berada.
"Kita tunggu sampai besok, jika dia tidak kembali baru kita lapor ke polisi untuk melakukan pencarian," ujar Mark
"Tapi ini sudah lebih dari dua puluh empat jam,"
"Jangan gegabah, mungkin saja Chenle berada di rumahnya,"
"Tapi ponselnya tidak dapat di hubungi, dan juga dia hanya pamit membeli bahan untuk tugasnya malam kemarin, tidak mungkin kan dia kembali ke rumahnya tanpa pamit?"
"Apa jangan-jangan dia di culik?" Tanya Haechan.
"Kita gak boleh negatif thinking dulu, kita tunggu sampai besok pagi, kalau dia gak kembali baru kita cari dia," saran Jeno
"Baiklah,"
"Hari ini kalian ada kegiatan apa?" Tanya Mark
"Nemanin Nana di rumah sakit," balas Jeno
"Aku pergi menemui ayahku," ucap Haechan membuat yang lainnya menatap anak itu dengan pandangan yang sulit di artikan
"Kau yakin?" Tanya Renjun
"Hm, sampai kapan aku terus menghindar darinya,"
"Bagaimana jika dia tidak mengizinkanmu tinggal di asrama?" Tanya Mark
"Jika itu satu-satunya cara agar ayah tidak lagi marah padaku maka aku akan tinggal bersamanya,"
Mereka semua terdiam mendengar penuturan pemuda itu, mereka tidak ingin berpisah namun jika itu satu-satunya jalan mereka tidak bisa apa-apa.
"Pergilah saat Chenle sudah kembali," saran Mark
"Baiklah aku akan menunggu sampai besok,"
"Sekarang ayo ke rumah sakit, ibunya baru saja memberi kabar kalau Jaemin sudah sadar dari komanya dan sekarang dia mencari kita," ucap Jeno setelah melihat pesan teks dari ibunya Jaemin.
"Syukurlah, ayo sekarang kita kesana,"
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Friend Ever
DiversosKisah tujuh anak remaja yang meninggalkan rumah dan tinggal di asrama. Mereka adalah siswa populer di sekolah dan terkenal sebagai tujuh siswa yang berasal dari keluarga kaya raya. Namun siapa sangka mereka memiliki kehidupan yang tak sebahagia yang...