IT is not my thing, namun ayah selalu memaksaku untuk mampu mengoperasikan seperangkat alat yang katanya mampu mempermudah hidp manusia miliknya, apalagi kalau bukan komputer.
Kira-kira komputer jenis apa yang ku maksud saat mengatakan ini?. Apakah komputer jenis terbaru? Atau komputer tercanggih yang mampu digunakan seharian? Tidak! Semuanya salah, komputer yang kumaksud adalah komputer jenis jaman Majapahit tidak juga maksudku komputer itu sudah kuno dan yang sehari-sehari ayahku gunakan di tempat fotokopian-nya sebelum kami menutup tempat fotocopi yang sudah ia jalankan lebih dari 20 tahun lamanya itu, yang juga menjadi saksi dari cinta orang tuaku, hingga adanya diriku.
Ayah juga sudah pergi untuk selamanya dua minggu yang lalu, menyisakan aku dan ibu ku yang saat ini tengah mengemasi berbagai barang yang ada di kios tempat fotokopi kami, sebenarnya terlalu banyak kenangan yang terdapat di kios ini yang menjadi hal yang berat untuk ditinggalkan namun bagaimana lagi biaya sewa kios mahal dengan pendapatan yang tak seberapa itu, ibuku juga memiliki warung yang didirikan dekat dengan rumah kami, jadi kami memilih untuk menutup tempat fotokopi ini untuk menghemat biaya hidup kami yang sekarang hanya tinggal berdua.
Hanya satu yang ku akan bawa, yaitu komputer itu, menyisakan banyak kenanganku dengan ayahku, aku bahkan masih teringat pada suara ayahku, "Ken, ilmu komputer itu penting untuk kamu pelajari.
Di masa depan semuanya memerlukan teknologi ada baiknya kamu belajar mulai sekarang biar bisa lanjutin bisnis ini nanti setelah kamu tamat SMA kan lumayan untuk penghasilan mu buat uang tambahan nanti pas kuliah" tanganku sibuk memainkan keyboard di depan komputer membuka kembali memori lama dengan ayah, berfikir entah sampai kapan aku akan dapat mengingat suara ayah, seharusnya dulu kurekam semua suaranya dan kusimpan untuk kudengarkan sebelum tidur.
"Ayo pulang Ken, komputernya mau kamu bawa?" Ibu membawa kardus yang isinya entah apa, bertanya saat melihat aku sibuk sendiri dengan komputerku.
"Iya bu kayaknya masih bisa dipakai" Aku lantas mengemasi barang-barang yang akan kubawa pulang tak terkecuali komputer peninggalan mendiang ayah.
Semuanya ku bawa untuk ditaruh di mobil pick up milik Om Doni, tetangga kami yang menawarkan tumpangan berhubung tempat fotokopi ini juga tidak terlalu jauh dari rumah kami.
"Udah semuanya Ken?" dia bertanya padaku yang baru saja meletakan kardus terkahir, setelah berfikir sebentar aku yakin bahwa tidak ada yang tertinggal, aku menganggukan kepala.
"Kayaknya udah Om"
"Oke kalo gitu om bawa pulang semuanya ya"
"Siap, makasi Om"
"Iya,... yokk" Pria seumuran mendiang ayahku itu lantas melajukan mobilnya meninggalkan aku dan ibu dengan satu-satunya motor yang juga peninggalan ayah.
Ku tatap ibuku yang terlihat sayu menatap kios di depanya.
"Ken, kamu tahu kan kalau ibu juga berat banget buat jual barang-barang di sini karena ayah?" Aku menganggukan kepala karena memang benar ini bukan keputusan yang mudah, malah kata ayah, ini akan ia wariskan kepadaku saat lulus SMA nanti namun nyatanya dia pergi bahkan saat aku belum lulus dari SMA.
"Mau bagaimana lagi, sekarang kita cuma berdua Ken, kamu jangan tinggalin ibu ya?"
Ibu lantas memeluku erat sudah tak ada lagi tangis yang kudengar, kuyakin ibu pasti sudah lelah menangis, dua minggu belakangan hampir tiada malam tanpa tangis ibuku dari situ kusadar bahwa cinta sejati itu memang nyata adanya, hari ini ibu nampak tabah sama halnya dengan diriku yang berusaha melupakan kejadian malam itu yang merenggut nyawa ayahku.
"Ibu ngomong apasih, aku ga bakal kemana-mana"
Selesai dengan acara berpelukan di depan ruko, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah akan menrunkan barang-barang tadi.
Hidup ini memang tak mudah ditebak apalagi oleh kami yang hanya manusia biasa namun kembali ke masa lalu semua kenanganku bersama ayah melintas saat ku mengendarai motor jalan menuju ke rumah, air mata sudah tak dapat terbenung, mereka turun tanpa seizinku.
Ternyata hari ini sial juga untukku begitu sejumlah memori berputar di kepalaku, tali layangan menjerat leherku, itu terlilit aku dapat merasakannya teriris dan teriakan ibuku, entah kemana si pemilik layangan dan yang ku ingat motorku oleng dan truk menabraku, semuanya begitu cepat dan sungguh menyakitkan, aku tergeletak, ibuku ku lihat terlempar ke pinggir jalan dan yang pasti aku terkapar di atas jalan, sial ibu menangis lagi aku melanggar janji, ini adalah akhir hidupku aku yakin badanku remuk, ini akhir dari hidup seorang Kenia Saraswati.
Aku sangat merindukan ayah, tapi kalau bertemu dengan ayah ku harus meninggalkan ibu, aku juga tak rela, terlebih aku sudah membuat janji dengan ibu, bagaimana ini. Dosa apa yang kami perbuat, nasib kami sungguh mengenaskan.
Aku terbangun di alam yang tak kutehaui, tempat ini sejuk, terang, putih dan aku sendirian di sini saat terbangun. Cahaya datang menghampiriku, berubah menjadi sosok yang ku rindukan dua minggu belakangan, pakaiannya putih, rambutnya hitam legam wajahnya bersih dan tawanya menghangatkan masih sama aku kenal tawa itu senyum itu adalah milik ayahku. Namun ia tampak lebih muda dan lebih segar dari yang kulihat terakhir kali.
"Ayah?" Rancauku.
"Ayah, ini dimana?" Aku bertanya tanpa memalingkan pandangaku pada sosok dengan senyum teduh di depanku.
"Apa ini akhirat?" tanyaku lagi karena ayah tak menjawab.
"Belum Ken" Kulihat ayah masih tersenyum ke arahku, aku tak tahan aku menangis lagi.
"Ken... Ayah ada tawaran, kamu masih mau hidup kan?" Dia berjongkok sambil memegang bahuku dan menghampus air mataku yang tak mau berhenti mengalir.
Aku yang tak mengerti kembali bertanya "Maksud Ayah apa?"
"Kamu masih muda Ken, kamu masih punya kesempatan kedua" jelas ayahku dengan suara yang lembut.
"Aku mau Yah, aku mau ketemu ibu kasian ibu sendiri di rumah. Ayo Ayah ikut juga" aku tak tahan yang aku tahu hanyalah merengek dan menangis.
"Maafin Ayah, Ken. Ayah ga bisa ikut kamu, sekarang ini rumah baru Ayah, Ayah cuma pengen kamu liat"
Tangisku semakin menjadi, hatiku sesak tak terima akan fakta yang ayahku berikan.
"Aku gamau balik kalo ga sama Ayah, aku mau kita bareng lagi bertiga, Ayah jangan tinggalin Ken sama ibu..." sakit, itu yang aku rasakan. Ayah hanya menggelengkan kepalanya.
"Ken, kamu masih bisa balik melihat ibu di sana. Tapi tidak dengan Ayah Ken, dunia kita sudah berbeda" Aku masih sesenggukan mendengarkan ayah.
Jangan menangis Ken, Ayah yakin kamu bisa. Jaga ibu untuk Ayah Ken dimana pun kamu nantinya kamu tetaplah Kenara putri kesayangan Ayah, putri satu-satunya Ayah yang Ayah banggakan"
Aku tak mampu berbicara, mendengarkan kembali suara ayah adalah hal yang tak dapat kuduga selama hidup dan matiku.
"Kembalilah Ken, kau masih punya banyak waktu di sana, semuanya akan baik-baik saja".
Begitu kata terakhir ayahku, semuanya kembali gelap aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.
YOU ARE READING
K L I S E
FantasyHidup sebagai seorang wanita selama 17 tahun namun meninggal dan kembali hidup menjadi seorang laki-laki