Bab 7

4 0 0
                                    

Pagi-pagi Devan sudah bersandar di daun pintu, kakinya mengetuk-ngetuk lantai tak sabar. Sesekali matanya menatap jam di tangan. Bel tanda masuk masih ada dua puluh menit lagi.

Sepuluh menit kemudian, seseorang yang di tunggu akhirnya datang juga.

"Mana pesenan gue? Buruan!" Todong Devan langsung.

"Astaghfirullah Dev, gue baru sampe. Belum juga simpen tas." Keluh seorang cowok berkacamata.

"Bomat! Cepetan mana pesenan gue? Keburu dia dateng."

Sedangkan si cowok mendelik, dasar pujangga kasmaran. Dengan raut sebal, si cowok menyerahkan kantongan kertas berukuran sedang. "Nih ati-ati! ntar penyok gue yang disalahin. Cukup emak gue yang ngomel-ngomel."

Devan terkekeh sambil melihat isi di dalam kantong. Pas. Seperti apa yang ia pesan.

"Perfect. Thanks Bro." Devan menepuk bahu Raja berulang kali. "Ntar gue pesen lagi. Gue duluan." Raja, cowok yang sedari tadi dibuat jengah menghembuskan napas kuat-kuat.

Bukan tanpa alasan, sejak dari rumah telinganya sudah berdenging mendengarkan kebawelan ibunya.

"Pokoknya hati-hati.. awas geser! Bawa mobil aja, jangan motor. Di taruh di depan jangan di belakang. Kalo perlu pakein sabuk pengaman, biar aman. Apalagi ya.... Pokoknya hati-hati! Ah... Oh iya! Nanti pegangnya atas bawah. Takut copot. Ah, atau talinya di streples biar kuat? Eh... Jangan, jangan.. itu bahaya. Nanti kalo kena makanan bisa nyangkut di tenggorokan. Oh No!!! Ter-------"

"Raja berangkat, Assalamu'alaikum." Dengan raut masam, Raja menyambar tangan sang ibu lalu menciumnya. Tak mengindahkan teriakan ibunya.

*****

"Tadaaaaa..." Devan menyerahkan kotak di hadapan Kiraya. Kiraya melirik Devan sekilas lalu tangannya menggeser kertas yang berserakan. Dahinya mengerut, melihat merk kue yang tertera di atas kotak.

"Wah.... Strawberry cake?" Pekik Kiraya begitu membuka kotak berpita merah. "Dalam rangka apa nih lo kasih kue?" Tanya Kiraya.

Alih-alih menjawab, Devan malah menaik turunkan alis. "Eum... Anggap aja sebagai hadiah."

"Hadiah?"

"Yap.. karena elo, sekolah kita lolos seleksi internasional."

Kiraya tersenyum kecil, "bukan gue. Karena kerja keras kalian juga. Boleh gue makan?"

"Sure. Bentar, ada sendoknya kan?"

Kiraya mengangguk lalu menyuap strawberry cake ke dalam mulutnya.

Devan duduk menopang dagu, memerhatikan cara makan Kiraya yang anggun. Seandainya ada krim di sudut-sudut bibir, bukankah akan terlihat romantis? Devan terkekeh dengan apa yang terlintas di kepalanya, sedangkan Kiraya mengedikkan bahu acuh. Biarkan Devan dengan dunia hayalnya.

"Tapi Ray, kenapa elo gak mau kalau nama lo disebut?" Tanya Devan mengalihkan suasana.

"Emang kenapa harus disebut? Tanya Kiraya balik. "Lagipula, gue lebih nyaman kalau semakin sedikit orang yang tau."

"Ya tapi kan, ngerasa aneh aja. Disaat gue dan yang lain dapat pujian atau tatapan penuh kekaguman. Nyatanya ada elo yang paling berjasa, elo yang paling berhak dapet semua itu."

"Karena gue lebih senang ada di balik layar. Dan, hanya dengan cara itu gue bisa aman dari amukan." Lirihnya di akhir kalimat.

Devan menatap lamat cewek di depannya, lagi-lagi tatapan itu. Tatapan yang membuat dadanya berdenyut nyeri. Dirinya sampai sekarang belum berhasil menembus dinding yang dibangun gadis di depannya.

Setelah beberapa hari lalu dirinya mengungkapkan segala perasaannya, nyatanya tidak ada perubahan.

Kiraya tetaplah Kiraya. Menanggapi saat di tanya dan tertawa saat hanya ada yang menarik. Tawa dan tanggapan yang hanya menjadi formalitas basa-basi.

*****

"Nah, Raya. Kenalkan, ini Ibu Anggita, Ibu Anggita ini salah satu donatur di sekolah kita." Terang Pak Bahari selaku kepala sekolah.

Kiraya mengangguk sopan lalu menyalami wanita dewasa yang terlihat fashionable, dari tatanan rambut hingga pakaian yang dikenakan.

"Ibu Anggita tertarik dengan desain pilar yang kamu buat di taman depan."

"Iya cantik, saya suka desainnya. Saya tadi tanya siapa yang buat dan dari tukang mana. Siapa sangka, ternyata ada anak emas di Karlingga." Pujian Bu Anggita membuat Kiraya tersenyum kikuk, dia tak terbiasa menerima segala hal berbau manis seperti itu.

Bu Anggita meraih tangan gadis cantik sekaligus sopan di depannya lalu menggenggamnya. "Kamu bisa kan, tolong buatin desain untuk saya. Kebetulan saya sedang membuat taman di rumah."

Kiraya mengangguk menyetujui, setelah saling bertukar nomor handphone, ia lalu mengirim beberapa gambar desainnya, serta menawarkan diri sebagai pembuat langsung yang dibalas pekikan Bu Anggita, bahkan tak segan beliau memeluk Kiraya erat seraya mengucap terimakasih berkali-kali.

Setelah pembahasan mengenai desain selesai, Kiraya pamit untuk masuk ke kelas. Sembari berjalan, tak henti-hentinya dirinya mengulas senyum.

Walau terlihat sepele, ternyata sangat melegakan ketika melihat orang bahagia karena perbuatan kita. Selain itu, dirinya amat beruntung ketika orang-orang menyukai hasil karyanya.

Fiuh... Kesibukannya bertambah, selain belajar dan bimbingan, hari sabtu dan minggu ia gunakan untuk membantu Bu Anggita di rumah beliau.

Tidak lupa juga, ia membantu teman-temannya untuk persiapan seleksi ketiga. Tahapan terakhir menuju internasional. Semoga, hari-hari baik selalu mengiringi langkah kakinya dan orang-orang tersayangnya.

*****

"Nay, elo kayaknya udah gak pernah bareng tetangga lo?" Tanya Ambar pada Kanaya yang sedang mengetik. "Setiap kali gue dan yang lain kesini, gak pernah liat dia lagi."

"Buat apa sih, bahas tuh cewek? Gak penting amat!" Dengus Prita di sambut cubitan Amanda.

"Apa sih lo?!"

"Diem! Elo mau Naya ngambek lagi? Dan lo mau disuruh minta maaf lagi ke Kiraya?" Amanda memelototi Prita yang ngga ada kapoknya julid tentang Kiraya.

"Ogah amat!" Balasnya sewot.

Tak mengindahkan ucapan teman-temannya, Kanaya masih sibuk mengetik. Sedikit lagi, bab bagiannya selesai.

"Selesai." Desahnya meregangkan jari-jarinya yang kebas. "Giliran lo, Ta." Ujar Kanaya menggeser laptopnya ke arah Prita.

"Tentang jawaban tadi, Raya sibuk bimbingan dia. Bahkan setiap pulang, kadang gue udah tidur atau gue lagi pergi. Tiap pagi, boro-boro. Dia udah ngilang dari kamar atau masih tepar di kasur."

Selain Prita, semua bengong. "Bimbingan apaan sampe malem? Itu kepala kagak puyeng belajar mulu?"

"Kalau lo punya bapak yang maunya perfect, ya begitulah Man. Siang malem kudu ngadep soal sampe nilai sempurna."

"Terus kalau gak sempurna?" Timpal Prita tiba-tiba.

Kanaya menerawang. "Kalau gak sempurna, siap-siap aja badan lo penuh tato." Gumamnya tak mampu di dengar yang lain.

"Kalau gak sempurna bakal kenapa?" Tanya Prita lagi. Bukan sok perhatian, tapi dianya kepo.

"Kalau mau tau, tanya sendiri lah. Napa jadi gue yang jelasin."

"Kam to the pret!" Dengus Prita dan Ambar. Sedangkan Amanda asyik stalking cowok yang menjadi pujaan hatinya sejak beberapa bulan lalu.

"Makannya Ta, gue mohon ke elo jangan tambah masalah buat Raya. Biarin dia fokus buat ujian."

"Kenapa jadi gue?!" Bantah Prita tak terima.

"Cukup ayahnya yang jahat sama dia. Jangan ada lagi."

*****

Tbc........ C u next time ⭐👍🏻

Pluviophilia (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang