Extra Chapter (epilog)

27 7 9
                                    

PERINGATAN: CERITA INI HANYA DAPAT DINIKMATI UNTUK USIA 17 TAHUN KE ATAS. BEBERAPA ALUR, KATA-KATA KASAR DAN TIDAK PANTAS AKAN HADIR DI CERITA INI. DIHARAPKAN PEMBACA BISA BIJAK DALAM MENERIMA INFORMASI.

CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA.

Jangan lupa untuk follow, vote, komen, dan simpan book ini di perpustakaan favorit kalian yaaw.

Ini chapter penutup untuk cerita Mayara, enjoy😽🔥🔥🔥🔥

Ini chapter penutup untuk cerita Mayara, enjoy😽🔥🔥🔥🔥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

EXTRA CHAPTER
EPILOG
||• MEMICU TRAUMA •||
.

.

.

Seharusnya, hal ini tidak boleh dilakukan. Kantong kresek kepunyaan Rudi adalah bagian privasi. Jika Rudi saja tak mengizinkan dirinya untuk melihat isi dari kantong tersebut, Maya juga tak memiliki wewenang untuk melanggar larangan itu.

Namun, Maya juga merasa penasaran. Dia membutuhkan alasan. Jika Rudi melarang, hal itu akan semakin membuat dirinya penasaran. Mungkin hanya sekali ini saja Maya ikut campur. Toh, hanya sebatas melihat mungkin tidak akan menyebabkan masalah yang besar kan?

"Cuma sebentar saja kok," gumam Maya pada dirinya sendiri.

Dia menyentuh permukaan dari kantong kresek itu. Membuka ikatan yang ada di sana dengan cepat. Setelah ikatannya terbuka lebar, pada akhirnya Maya pun mengetahui isi dari kantong itu.

Tentu saja, Maya terkejut sekali di saat melihat isinya. Maya tak menyangka jika Rudi membeli minuman yang sangat dibenci olehnya. Menelan saliva kuat-kuat, Maya mematung dengan posisi berjongkok di belakang sofa.

Kenapa?

Setelah beberapa saat Maya terdiam, Rudi menampakkan diri. Dia sama sekali tak merasa curiga sedikitpun. Berjalan mendekati keberadaan Maya.

Maya berdiri, jemarinya masih setia memegang kresek itu. Menghunuskan sorot mata tak ramah. Rudi menghentikan langkahnya sejenak. Tentu saja, dia menunjukkan ekspresi terkejut. Tampak melirik pada apa yang dipegang oleh Maya.

"Maya, itu kresek aku ya? Kenapa kamu ambil?" tanya Rudi basa-basi. Seharusnya Maya tak menyentuh benda itu.

"Jadi, tadi kamu beli ini? Kenapa?" Maya balik bertanya, sama sekali enggan untuk menimpali pertanyaan Rudi.

Rudi termenung. "Yah, memang kenapa?"

Dia tidak salah kan? Rudi juga membeli itu menggunakan uangnya sendiri tanpa merepotkan pihak Maya. Dia masih memiliki hak.

Maya refleks mendengus kasar. "Kenapa? Kenapa beli barang beginian sih? Kalian para laki-laki memang suka banget ya sama minuman sampah kayak gini? Aku nggak suka!"

Emosi Maya tercungkil. Dia tak ingin Rudi membuang banyak uang untuk membeli minuman tak berguna. Cukup orang itu saja, jangan Rudi juga.

Menghela napas pelan, Rudi terdiam. Kemudian memberanikan diri untuk melangkah maju lantas mencoba untuk merebut kresek itu. "Cuma buat menghilangkan stres, kamu tenang saja. Aku nggak akan nyuruh atau ngebuat kamu minum ini kok."

Dengan cepat Maya menepis tangan Rudi menggunakan gerakan kasar, mundur beberapa langkah sembari menjaga jarak. Kedua matanya berkaca-kaca sebagai tanda kecewa.

"Sama saja kan? Aku kecewa sama kamu, keluar sana! Aku nggak suka lihat kamu mabuk lagi!"

Kali ini Rudi bungkam, melihat Maya yang berniat untuk menangis membuatkan hatinya terasa perih. "O-oke, oke, aku bakal pergi kok. Jangan nangis dong, aku bingung nih."

"Kamu yang buat aku nangis, Rudi! Ternyata kamu nggak ada bedanya, kalian sama-sama jahat. Kalian jahat, jahat!"

Tangis Maya menguat, tentu saja itu membuat Rudi semakin panik. Rudi mencoba untuk menenangkan Maya yang terlihat gelisah. Namun ketika dia mencoba untuk mengikis jarak, Maya memberontak dan memukul bahu Rudi secara berulang-ulang. Melampiaskan kekesalan dan kemarahannya terhadap Rudi.

"Maaf, heh. Aku minta maaf, jangan nangis dong. Aku kan.....nggak ngapa-ngapain kamu."

"Tapi, kamu ngapa-ngapain diri kamu sendiri, Rudi! Kamu mikir nggak sih? Mikir pakai otak nggak!? Aku nggak mau berteman sama orang yang suka mabuk kayak kamu. Dasar brengsek!"

Maya menampar Rudi dengan keras. Setelah makian yang dia lemparkan, untuk yang pertama kalinya Maya benar-benar merasa sangat marah kepada orang lain. Kemarahan itu sama sekali tak terbendung. Tak mampu untuk dikendalikan.

Kekecewaan yang dirasakan di masa lampau benar-benar melukai hati Maya. Melihat Rudi yang membeli minuman itu sudah cukup mengingatkan Maya pada masa lalu yang mengerikan. Rasa kehilangan itu kembali menghantui pikiran serta hatinya.

Memicu trauma pada sosok Zayyan yang mengkhianati kepercayaan miliknya. Memutus hubungan yang telah lama mereka jalani dengan mudah.

"Keluar kamu. Aku nggak mau lihat kamu. Aku marah sama kamu, Rudi. Aku kecewa, ternyata kamu nggak ada bedanya. Padahal aku sudah mulai bisa percaya sama kamu. Apa....kamu sama sekali nggak memikirkan perasaanku?"

"Kalau aku keluar, apa kamu bisa berhenti menangis? Aku....nggak mau kamu nangis karena aku, May. Aku minta maaf."

Maya terisak, kemudian mengangguk. Ya, melihat Rudi hanya mengingatkan dirinya pada Zayyan. Mungkin jika Rudi pergi, Maya bisa kembali menenangkan diri dari trauma itu. Karena saat ini, Rudi sangat mirip dengan Zayyan dan itu sangat melukai hati Maya.

"Jaga diri kamu baik-baik."

Rudi mengulas senyuman hambar. Merebut kantong kresek itu dari genggaman Maya, Rudi perlahan mulai beranjak dari ruangan tersebut. Membuka pintu dan keluar dari kawasan rumah. Meninggalkan Maya seorang diri dengan isak tangis yang masih terdengar.

Bahkan setelah apa yang mereka lalui, hubungan mereka akhirnya hilang akibat masalah yang serupa.

Rudi memutuskan untuk pergi dan Maya memutuskan untuk tak pernah percaya lagi. Kenangan yang menyakitkan dan trauma yang dimiliki oleh Maya perlahan mulai menggerogoti batinnya.

Kisah yang mereka mulai dengan rasa suka harus berakhir dengan rasa duka.

END

Malam yang Gemerlap [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang