Araya mengantar Paman Dirga menuju salah satu caffe terkenal kala kerjaan kosong. Paman Dirga mendengar ajakan perempuan yang disukai oleh anaknya tidak akan menolak. Kapan lagi Araya mengajaknya berdua keluar menikmati suasana sore. Tapi ekspektasi pria paruh baya itu pecah ketika melihat dengan kedua matanya sosok yang dibenci Angga. Laki-laki yang harus Angga singkirkan. Semua tentang laki-laki itu jadi ancaman terbesar Angga.
Ferdino melakukan perjodohan anak perempuan satu-satunya dengan Gharvi.
Mengetahui rencana itu, Dirga selaku Ayah Angga tidak bisa membantu apa-apa. Namun Dirga mengarahkan seluruh bawahannya untuk mengikuti perintah Angga. Dirga membebaskan anaknya melakukan bahkan merebut sesuatu yang harus dimiliki.
Tangan Araya menjulur sebuah buku menu ke hadapan Paman Dirga, memilih apa saja. "Giliran Om Dirga pesan. Araya pesan paket oursanrle." Bibir Araya tak henti membentuk senyum kecil. Araya sadar kalau Paman Dirga sedang memikirkan sesuatu. Dan ia juga tidak tahu apa beban pikiran Paman Dirga.
"Pesan yang sama, Nak Araya. Om masih cukup kenyang."
"Ini ada minuman kesukaan Om Dirga, Kopi Americano. Mau ganti gak?" Araya masih menahan pelayan di sampingnya, karena Gharvi belum pesan.
Anggukan dari Paman Dirga segera ditulis oleh pelayan kemudian pandangan Araya beralih ke Gharvi yang sedari tadi hanya menyaksikan interaksi antara mereka berdua Araya dan Paman Dirga. "Mau pesan apa, Mas?"
Mas Gharvi. Perempuan rambut se-lengan itu mengubah panggilan itu. Tanpa alasan yang jelas. Dia hanya ingin menjalin hubungan dekat tanpa status. Dengan memanggil Mas, Araya tidak akan merasa canggung ketika bertemu selayaknya Gharvi dengan Papa Araya. Itu pikiran Araya saat ini.
Berbeda dengan Paman Dirga. Pria itu melototkan kedua matanya secara tiba-tiba namun segera menetralkan kembali tampang wajahnya. Tangannya hampir saja menutup mulutnya. Kepribadian Paman Dirga tidak gentle dan beda saat berhadapan dengan istrinya. Kewibawaan Dirga lenyap dihadapan Mega-Istri tercintanya.
"Roti bakar keju dan Air mineral." Tangan pelayan itu menulis pesanan Gharvi. Setelahnya pelayan mengulang pesanan mereka dan pamit undur. Sembari menunggu pesanan Araya memperkenalkan Gharvi kepada Paman Dirga dan sebaliknya Araya menjelaskan siapa Paman Dirga di keluarganya. Tak hanya itu, Araya mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Paman Dirga. Paman Dirga juga menyambut pertanyaan itu dengan candaan atau lelucon yang mampu menampilkan deretan gigi rapi milik Araya. Perempuan yang berpakaian kameja merah dipadukan dengan rok hitam itu tertawa luwas.
"Sekarang Tante Mega lagi arisan di luar negeri?"
Paman Dirga menggerakkan kepala dua kali. "Ya begitulah kebiasaan istri Om kalau senggang. Karyawannya lagi diliburkan. Sekalian family gathering katanya. Ribet juga Om pikir."
"Selama nggak meribetkan Om ya enggak apa apa."
"Tapi isi dompet Om dikuasai sama istri sendiri."
Araya tertawa. Melihat wajah lesuh Paman Dirga cukup menghibur dirinya. Gharvi lagi dan lagi menyaksikan mulut Araya berbicara, kedua mata penuh binar, tangan bertepuk ketika sesuatu yang lucu perempuan itu dengar dan senyuman kecil menghadirkan rasa debar di dadanya. Kedua matanya tak mengalihkan barang sedikit pun dari Araya. Perlahan sudut bibirnya tertarik.
Pelayan datang membawa dua nampan berisi pesanan mereka bertiga. Menata di atas meja lalu kembali ke meja kasir. Araya lebih dulu menyantap kue coklat yang menggiurkan. Dari looks mampu menarik tangan Araya untuk dicicipi.
"Om Dirga kenapa baru ketemu Mama? Maksud Araya Om Dirga nggak kangen sama Mama secara Om Dirga adalah sepupu Mama." tanya Araya sembari tangannya bergerak memotong kecil kue coklat di hadapannya.
Paman Dirga tidak langsung menjawab. Pria itu mengangkat cangkirnya lalu menghirup sedikit kopi pesanannya. Meletakkan kembali di atas plate mini. Memandang cepat perempuan di depannya. Dari tatapan itu tak bisa Araya menjabarkannya. Dua menit berlalu hingga helaan nafas kasar terdengar jelas di telinga perempuan dan laki-laki itu.
"Angga tidak bisa tenang."
Tenang? Kata itu memiliki dua arti berbeda. Bisa saja perasaan bahagia dan duka. Namun Angga tampaknya sehat. Araya menunggu jawaban lanjutan dari Paman Dirga.
"Om enggak bisa jelaskan tentang anak Om sendiri. Angga itu anak yang susah Om atur. Jika melihat sesuatu, Angga tidak bisa membiarkan itu sendirian."
"Sesuatu apa, Om?"
"Kamu bakal mengetahui setelah kalian bersama,"
Sontak Gharvi yang diam langsung menatap Paman Dirga dengan pertanyaan. "Saya dan Araya tidak akan berpisah."
"Coba saja semampu anda. Saya hanya memberikan peringatan kecil."
"Peringatan untuk Araya dan Gharvi?" serbu Araya dengan kernyitan di dahi.
Paman Dirga diam. Dia sengaja tidak membeberkan secara jelas 'sesuatu' pada Araya. Terutama situasi itu, ditemani oleh Gharvi yang diduga sebagai calon tunangan Araya.
"Om Dirga kok diam? Peringatan apa? Membahayakan ke Araya atau Gharvi?" Araya pindah posisi dari samping Gharvi ke dekat Paman Dirga.
"Apa kalau Om jawab kamu akan menjauh dari Gharvi?"
"Gharvi nggak ada sangkut pautnya dalam urusan Kak Angga dan Araya."
"Kamu belum sadar, Nak."
"Urusan Araya itu masalah pribadi Araya. Baik Kak Angga ataupun Mas Gharvi tidak boleh ikut campur."
"Pikirkan secara dewasa Araya. Kamu terlalu naif menanggapi semua perlakuan laki-laki sama kamu."
"Dan kamu secara langsung menerima tangan laki-laki bernama Gharvi. Paham maksud, Om?"
"Dia anak teman Papa. Papa sendiri kasih saran sama Araya buat dekat dengan Mas Gharvi. Jadi apa salah kalau Araya menerima uluran tangan Mas Gharvi?"
Paman Dirga hendak menyentuh kepala Araya namun wajah Angga hinggap di pikirannya. Tangannya kembali menyilang depan dada. "Sudah nggak usah dibahas. Yang penting sekarang Om ada di hadapan kamu. Ketemu Mama kamu dan keponakan Om yang paling cantik"
Araya mengangguk saja. Pikirannya mudah teralihkan.
Gharvi mulai memasang teka-teki dari ucapan misterius Om Dirga.
Berakhir mereka bertiga pulang dengan Araya di seat depan bersama Gharvi mengendarai mobil dan Paman Dirga di belakang. Sebuah ide terlintas dipikirannya.
"Di pakaian Gharvi ada serangga." Seru Om Dirga hingga Araya yang memandang jalan langsung berbalik ke Gharvi.
"Mana, Om?"
"Tadi Om liat di dekat kerah baju Gharvi."
"Enggak ada serangga, Om. Baju Gharvi bersih nggak ada yang menarik serangga kok."
"Mungkin jatuh ke dekat kantong depan baju Gharvi."
Kepala Araya semakin dekat ke Gharvi mencari serangga yang dimaksud Om Dirga. Tak menyia-nyiakan kesempatan, secara bersamaan Gharvi mendekatkan kepalanya ke Araya. Menghirup aroma shampoo dari rambut Araya.
Send.
Paman Dirga diam-diam memotret posisi Araya dan Gharvi kemudian mengirimkan ke anaknya yang spam pesan menanyakan lokasinya bersama Araya. Dan satu balasan Paman Dirga berupa sebuah foto dikirim kepada anaknya. Tak cukup semenit ponselnya langsung bunyi dan tertera nama Angga. Pria paruh baya itu tersenyum bangga. Anaknya telah terobsesi pada Araya.