Seokjin masuk ke dalam rumahnya dengan berisik. Sepatunya asal ditendang, terpental ke pojokan. Dilemparkannya tasnya ke lantai.
"Kau sudah pulang?" Namjoon melongok dari satu-satunya kamar tidur di rumah itu sambil memegang sebuah novel tebal.
"Mm..." Seokjin hanya menggumam dan langsung menuju kamar mandi.
Tapi Namjoon lebih cepat, memeluknya dari belakang dengan mesra sampai keduanya berputar-putar dan nyaris jatuh. "Cium dulu."
Seokjin menggeliat sampai terlepas dari pelukan Namjoon. Didorongnya Namjoon menjauh. "Jangan. Aku belum mandi. Kau kan tidak suka kalau aku bau laki-laki lain."
"Oke." Namjoon menjauh, masuk ke dapur. "Kau sudah makan belum?"
"Belum." Jawaban samar sebelum pintu kamar mandi ditutup. Tapi apapun jawabannya, Namjoon langsung memanaskan makan malam yang sudah siap dari 5 jam lalu untuk disantap Seokjin.
Terdengar pintu kamar mandi membuka. "Seokjin, sini makan dulu." Namjoon memanggilnya. Tapi Seokjin justru berlagak tidak mendengar dan langsung masuk ke kamar.
Ada yang salah. Namjoon cepat-cepat menyusulnya. Di kamar, Seokjin langsung berbaring di tempat tidur sambil memperhatikan sebuah foto tua. Pelan-pelan Namjoon duduk di sebelahnya.
Setahun bersama, ia hapal betul kalau Seokjin sedang ada masalah ia akan memandangi satu-satunya foto orang tuanya yang ia miliki. Terkadang sampai berjam-jam.
Namjoon tidak pernah berkomentar. Walaupun sejujurnya ia tidak mengerti apa bagusnya mengenang seorang pria yang pergi saat Seokjin masih bayi, dan seorang wanita yang meninggalkannya begitu saja saat ia masih 14 tahun.
Yang bisa ia lakukan hanyalah duduk di sebelahnya, lalu merangkulnya. Mencoba meyakinkan kalau Seokjin bisa menemukan kedamaian dari kekasihnya yang selalu ada untuknya.
"Namjoon, orang tuamu ada dimana?"
"Entahlah. Salah satu negara Eropa harusnya." Namjoon menghela napas. "Mereka memutuskan hubungan denganku semenjak aku ditangkap polisi."
Seokjin mengerjap bingung. Namjoon mengerti kalau ini akan jadi pembicaraan yang panjang. Hidup bersama Seokjin, berarti hidup untuk saat ini. Ia sama sekali tidak mau membicarakan masa lalu dan masa depan. Dan Namjoon juga tidak mau memaksanya membicarakan topik yang membuatnya tidak nyaman.
Tapi itu berarti keduanya sama-sama memiliki sangat sedikit pengetahuan tentang latar belakang dan rencana hidup pasangannya.
"Ini orang tuaku." Namjoon menunjukkan foto wisuda di ponselnya pada Seokjin.
Seokjin merebut ponsel Namjoon dan membelalak. "Kau pernah kuliah? Kenapa toga nya lucu begini bentuknya?"
"Itu toga buat lulusan PhD."
"Bohong..."
"Aku tidak bohong. Aku menyelesaikan SMP dan SMA ku dalam 4 tahun. Kuliah S1 ku lebih cepat setahun. Lalu aku kerja jadi dosen sambil kuliah."
Seokjin tertawa dengan nada aneh. "Kalau kau sepintar itu, buat apa menipu orang sampai masuk penjara?"
"Aku bosan." Namjoon menghela napas. "Belajar sangat mudah bagiku. Aku bergaul dengan teman yang salah, pakai narkotika, menghabiskan uangku di pesta-pesta gila."
"Lalu aku mulai berjudi, lalu menipu." Namjoon tertawa. "Yeah, aku tidak menyalahkan orang tuaku untuk meninggalkanku. Aku memang memalukan sekali waktu itu."
"Kenapa kau tidak kembali mengajar?"
"Siapa yang mau mempekerjakan guru mantan narapidana?"
"Ah, benar juga." Seokjin menggigit bibirnya. "Kau bodoh." Ia mulai tertawa, makin lama makin kencang. "Sangat bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow
FanfictionSeokjin si pelayan restoran dan Namjoon si mantan narapidana bertemu di bagian tergelap kota. Dua jiwa kesepian dengan luka masa lalu, hubungan mereka terbangun diatas keinginan untuk lepas dari neraka dunia. Tapi, masih adakah hari esok untuk merek...