TENTANG LAIL

6 3 3
                                    


Hidup yang kata mereka pasti berputar nyatanya aku merasa aku diam ditempat saja. Anehnya aku merasa sudah berlari sejauh apapun yang aku bisa, benar-benar melelahkan. Tapi- tidak ada perubahan, sama sekali.

Aku tinggal di kota Cakra, hidup disini kalian harus menyesuaikan dengan para berandalan, penjudi, bahkan perampok disini sudah menjadi makanan sehari-hari.

Kalo kalian berfikir kota ini kumuh, jorok, kalian salah! Kota ini sangat indah. Pegunungan yang luas, burung-burung langka yang cantik selalu menghiasi langit diatas sana. Mungkin sialnya Kota Cakra ditempati dengan penduduk yang tidak tepat. Termasuk aku.

Orang-orang memanggilku Lail seorang penebang kayu bakar, seorang penjual kayu bakar, seorang paling miskin di kota Cakra atau mungkin seseorang yang tak pernah mereka lihat, tak pernah dianggap.

Tinggal di gubuk paling ujung di kota itu, bersama adikku Nau. Saat itu aku tidak benar-benar mengerti saat Ayah bilang

"Jika Ayah tidak kembali tolong pergi pada Mentri tagih janjinya ya Lail, Ayah terpaksa menjadi prajurit perang hari ini- karena Ayah rasa hanya ini kesempatan kita untuk tetap bertahan hidup," balas Ayah saat itu menggendong Nau yang terlelap di pelukannya.

"Ayah tolong jangan pergi, yang aku tau prajurit selalu saja banyak yang mati. Kalau Ayah seperti itu, aku dengan Nau bagaimana?" Jawabku sepuluh tahun yang lalu. Aku masih benar-benar lugu saat itu.

"Ayah percaya seorang Lail akan menjadi wanita pemberani, tangguh, tidak takut apapun. Tolong jaga Nau dengan baik ya, Ayah benar-benar sayang kalian," balas Ayah sambil mengusap rambutku dengan lembut.

"Lagi pula Ayah sangat rindu Ibumu."

"Aku juga sangat rindu, kalau begitu aku dan Nau ikut juga Yah!!!"

"Kalian harus hidup lebih lama, Lail harus percaya didepan sana akan ada kebahagiaan yang tak pernah kalian bayangkan."

Kebahagiaan macam apa Yah? Apa saat aku dan Nau hanya berdiam diri melihat orang-orang makan dengan lahap? Apa saat aku dan Nau mencari baju bekas ditempat sampah? Atau mungkin saat aku dan Nau dicaci maki? Apa itu yang namanya kebahagiaan?

Untungnya aku sudah kebal dengan hal itu, tapi aku berusaha agar adikku dia tidak merasakan terlalu lama sepertiku.

Hari ini sembilan Desember, tepatnya ulang tahun Nau. Dia selalu saja menatap kue lilin biru yang sangat cantik menurutnya, aku selalu tau dia mengharapkan kue itu saat ulang tahunnya tiba. Dia tidak pernah bilang- tapi aku benar-benar memahaminya.

"Halo Pak kue!! Hari ini aku bisa kan mengambil kue itu? Eh apa belum lunas ya?" tanyaku yang kini sudah sampai di toko kue dengan kayu bakar di bahuku.

"Lail Lail hanya kamu yang membayar lima kali hanya untuk sebuah kue, sebenarnya sedikit lagi kamu lunas. Tapi Pak kue kasih diskon untukmu ya, adikmu pasti bahagia sekali mempunyai Kakak tangguh sepertimu Lail," balas Pak kue yang kini tengah menyiapkan kue lilin biru.

"Terimakasih banyak Pak Kue! Nau tidak beruntung mendapat Kakak sepertiku Pak Kue, aku harap saat nanti jikalau Nau lahir kembali dia harus memilih Kakak yang bisa setiap hari tidak membuatnya sengsara," ucapku yang kini menerima kue dari Pak kue.

"Tapi Pak kue yakin Nau pasti akan memilihmu lagi, kalau kau dan Nau butuh bantuan kabari saja ya? Aku masih benar-benar merasa bersalah karena masalah itu. Maaf Lail karena itu kamu malah terkena pukulan warga, mengingatnya selalu membuat hatiku tidak pernah tenang."

"Pak kue itu namanya salah paham. Ya tak apa!! Sudahlah aku sudah memaafkan nya saat itu juga, lagi pula sekarang aku baik-baik saja kan?"

"Senang mendengarnya Lail, tolong salamkam kepada Nau ya selamat bertambah usia."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TENTANG LAILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang