Sudah sejak 1 jam yang lalu aku terus terpaku pada layar kaca laptop yang masih terlihat kosong. Mataku terus berkutat serius seperti sedang kesulitan menuangkan atau bahkan memikirkan sesuatu, yang kemudian aku sontak menghela napas pasrah, pasalnya sudah lama sekali aku duduk tapi sebuah tampilan microsoft word di sana masih saja kosong.
"Arghhh! Tiba-tiba nggak bisa ngetik apa-apa, padahal tadi idenya jelas-jelas lancar banget di kepala!" Aku merasa frustasi sendiri.
Benar, itu kebiasaanku. Aku sangat suka menulis, sudah sejak kecil aku bercita-cita untuk menjadi seorang penulis hebat seperti penulis-penulis terkenal di luar sana. Namun apa? Tak satu pun tulisanku mampu aku selesaikan dengan baik. Semuanya menggantung tak terurus di platform kepenulisan yang selalu aku anggap sebagai rumah dari karya-karyaku. Bukankah aku terdengar payah?
"Lip, ada Rami nih!" teriakan ayahku bahkan terdengar lebih memekakkan telinga ketimbang ibuku.
Dengan langkah ringan aku segera menghampiri Rami yang tentu saja ia selalu datang tiba-tiba tanpa memberitahu terlebih dulu. Padahal ini hari senin, atas alasan apa dia datang menemuiku?
"Hari ini nggak buka toko? Kan hari senin."
Rami mengeluarkan sebuah buku novel dari dalam tasnya lalu menyodorkannya padaku. "Nih, kemarin katanya mau pinjam, kan? Aku udah baik hati loh dengan bawain novel ini ke kamu langsung."
Aku tersenyum kecil, Rami memang pengertian dan selalu melakukan hal-hal kecil yang terkadang membuatku berpikir bahwa tidak ada teman sebaik dirinya lagi di dunia ini. Mungkin akan aku temui banyak orang baik di luar sana, tapi tentu saja setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda bukan?
"Nih, ambil. Sampai kapan mau takjub terus sama kebaikan hatiku?" Dengan bangga senyum cerah itu Rami perlihatkan padaku.
"Makasih ya, Mi."
"Iya, ya udah, aku balik ya? Udah siang juga nih, ntar pelangganku pada kabur semua kalau buka toko kesiangan terus."
Aku terkekeh geli sambil menyaksikan kepergiannya.
Rami seumuran denganku, kami akrab karena sudah sejak lama berteman. Dia berbeda denganku yang baru saja menjadi pengangguran karena mengundurkan diri dengan alasan tak nyaman satu kerjaan bersama orang-orang bermuka 2 di tempat kerja lamaku. Sementara Rami, dia memiliki toko pakaian yang ia berdirikan sendiri dengan uang tabungannya yang ia kumpulkan sejak jaman sekolah. Meskipun belum menjadi toko yang besar, Rami terus berjuang keras untuk tokonya itu.
Terkadang aku iri melihat pencapaian orang-orang di sekitarku, walau beberapa orang mengaku masih belum cukup dengan apa yang dimilikinya sekarang, tetap saja aku selalu merasa mereka semua hebat dan setidaknya lebih baik daripada aku. Aku yang selalu merasa berjalan di tempat, sementara semua orang terlihat berjalan maju meskipun dengan langkah kecil dan perlahan.
Terhitung sudah 4 bulan lamanya aku menganggur dan malah menyibukkan diri dengan tulisanku yang tak kunjung selesai. Lalu, apa gunanya memiliki banyak waktu namun bukannya ada kemajuan justru aku semakin membuang-buang waktu berhargaku?
Alih-alih mencari kerja, aku malah memilih diam di rumah sambil menunggu kabar angin mengenai lowongan kerja. Ada-ada saja, tapi itulah yang saat ini sedang aku lakukan. Percaya sambil menunggu, kemudian lelah, setelah itu pasrah, dan lagi-lagi aku tidak mendapatkan apa-apa selain makna bahwa menunggu adalah cara para pengecut untuk bertahan hidup.
Klek!
Pintu kamarku terbuka dan menampakkan sosok penuh seorang wanita paruh baya dengan pakaian kebanggaannya. Benar, daster yang di beberapa bagian terlihat robek dan berlubang. Katanya semakin banyak robekan atau lubang di bajunya, maka semakin nyaman pula untuk dipakai. Yang benar saja, tapi sungguh, aku pun mulai ketularan kebiasaan ibuku itu.
"Lip, ibu dengar di toko cat Pak Gugun butuh karyawan, kamu nggak berminat?"
"Nggak deh, Bu, aku nggak mau."
"Ya Allah, Lip, kenapa menolak kesempatan? Mumpung ada pekerjaan, Nak. Daripada kamu tuh diem di rumah terus, dapat uang enggak, ngabisin uang iya."
Aku menurunkan tatapanku dari ibu. Sejujurnya aku juga merasa tidak enak jika terus membebani orang tuaku, tapi aku juga selalu punya alasan mengapa aku tidak mau bekerja di beberapa tempat karena peraturan yang dibuat, atau bahkan pembatasan gerak-gerik pekerja.
Ibu terlihat bersalah atas perkataannya barusan, sepertinya ia menganggap bahwa dirinya telah mengatakan kata-kata yang bisa saja menyakiti perasaanku.
"Lip, ibu tidak bermaksud berkata buruk. Ibu juga tidak menganggap kamu membebani ibu dan ayah seperti anggapanmu waktu itu, ibu hanya ingin kamu merasa bebas membeli apapun dengan uangmu. Ibu tahu selama ini kamu banyak menginginkan sesuatu, ingin memenuhi kebutuhan pribadimu, tapi kamu terus menahan diri agar tidak membebani orang tuamu. Ibu tahu semua itu, Nak."
Lagi-lagi aku benci situasi ini, mendengar perkataan ibu selalu membuatku ingin menangis.
"Mungkin ini terdengar buruk, tapi jujur, jika untuk memenuhi kebutuhanmu sementara keluarga kita juga tidak pernah mengalami ekonomi yang baik, ibu hanya bisa memintamu untuk bekerja, Nak. Ibu tidak bisa memenuhi kebutuhanmu, bahkan kebutuhan makan kita saja, ibu dan ayah masih tunggang langgang mencari uang."
Aku tertegun getir mendengar kata-kata ibu. Aku memang payah dan tidak berguna, hingga di usiaku yang sekarang pun, aku belum mampu memberikan kebahagiaan untuk mereka.
"Bu, aku minta maaf ya. Dari dulu sampai sekarang, aku masih terus menjadi beban ibu dan ayah." Aku masih mampu menahan tangis, namun akhirnya pecah karena pelukan hangat ibu.
"Tidak, Nak, tidak. Kamu adalah anugerah bagi ibu dan ayah."
Usapan halus tangan ibu menyapu bersih air mata di pipiku juga di mataku. Perasaan tenang dan juga berambisi untuk bisa membahagiakan orang tuaku semakin meronta-ronta, tapi pada akhirnya, aku juga tidak tahu harus melakukan apa.
"Ibu kan tahu kalau Pak Gugun nggak memberikan waktu sholat ke karyawan-karyawannya, beliau juga kasar dan suka marah-marah. Makanya semua karyawannya nggak ada yang betah. Ibu juga dengar kan kalau nggak ada satu pun orang yang betah kerja di sana? Semuanya langsung resign setelah sehari, dua hari atau lebih bekerja di sana."
Memang benar jika di dunia pekerjaan itu tak selalunya baik semua, mulus-mulus saja, tentu benar jika pasti ada saja sumber dan alasan tidak menyenangkannya. Terkadang teman kerja, bos, lingkungan, pekerjaannya atau juga gajinya. Yang memilih bertahan karena alasan pribadi, pasti alasan itulah yang menguatkannya.
Lalu aku, sebenarnya bukan hanya poin yang kusebutkan tadi saja, melainkan kelapangan waktu untuk sholat adalah yang paling aku pertimbangkan sebelum bekerja. Yang pernah aku dengar adalah bahwa hidup ini adalah tempatnya beribadah. Dan segala aktivitas di dunia ini hanyalah pekerjaan yang dilakukan semata-mata hanya untuk menunggu waktu sholat. Dan sejak saat itulah aku mulai menyadari bahwa aku harus terus berusaha memperbaiki diri dan sholatku agar lebih baik lagi.
Jika bekerja sebagai karyawan perusahaan atau profesi sebagai guru dan beberapa pekerjaan lainnya, sepertinya akan jauh lebih mudah, tapi aku tidak pernah percaya diri untuk memasuki dunia pekerjaan seperti itu.
Bukankah ini hidup? Setiap orang pasti punya kemampuannya masing-masing dan punya posisinya masing-masing. Entah mengapa, tapi aku meyakini bahwa hidup tanpa melibatkan diri dengan banyak orang adalah hal yang paling baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertinggal Rasa
RomancePerasaan untuk masa lalu yang tak pernah Lipia sadari, membuatnya seolah seperti terkurung dalam bayang-bayang tanpa tahu caranya bisa keluar. Perasaan yang benar-benar tidak terasa jelas itu telah mengikat hatinya selama ini. Sepanjang Lipia menjal...