⚠️⚠️TRIGGER WARNING!!⚠️⚠️
[ TERDAPAT ADEGAN YANG MENUNJUKKAN INDIKASI PERCOBAAN BUNUH DIRI, PERILAKU SELF HARM, DAN DEPRESI]
(✷✷)
Pintu unit kamar yang terletak pada lantai ke tujuh bangunan elit itu terbuka, ketika sekian menit sebelumnya seseorang menekan bel memohon agar diizinkan untuk bertamu sekaligus singgah. Sebagaimana biasanya.
Sang pemilik salah satu unit itu memandang datar, namun melalui binar jelaga yang lebih hitam dari arang itu terbesit sorot penuh penghakiman akan kehadiran sang tamu. Lagi-lagi seperti biasa.
Ini sudah yang ketiga kali dalam satu minggu belakangan. Dan ia mulai dibuat lelah akan segala omong kosong yang tidak pernah dikatakan. Sunghoon, si penyewa unit bergaya lewah tersebut akhirnya semburkan hela napas frustasi. Namun agaknya tak dihiraukan oleh sang tamu yang sama sekali tidak punya malu itu.
"Aku nginep di sini, ya." begitu ujarnya.
Itu adalah sapaan pertama yang terucap setelah sepersekian detik mengulum kata. Melangkahkan kaki hendak masuk melewati sang empu, tetapi tangan yang lainnya bergerak lebih cepat untuk mendorong tubuh tamu tak diundang itu agar tidak sembarangan menginjakkan kaki di kediamannya.
"Gak bisa, lagi ada temenku menginap." Sunghoon amat sangat paham bahwa alasannya tersebut tidak akan mempan, sosok laki-laki di hadapannya ini punya ribuan macam cara untuk menerobos masuk ke dalam kediamannya. Sekalipun pada akhirnya nanti akan ia setujui dengan diiringi dengusan jengkel.
"Aku bisa tidur di sofa."
"Sofa ku rusak."
"Lantai mu gak rusak, kan? Aku bisa tidur di lantai aja."
Pemuda dengan proporsi tubuh hanya setara lehernya itu sedari awal lebih tertarik meneliti lantai keramik yang sepatunya injak, ketimbang menatap sang lawan bicara yang butuh penjelasan meskipun keduanya pun sudah sama-sama tahu. Hanya saja, Sunghoon tak ingin berasumsi.
"Kim Sunoo..."
Namanya Sunoo, berasal dari klan Kim itu pada akhirnya membalas sepasang bilah tajam milik Sunghoon yang seolah dihunus kepadanya. Kedua netra cokelat terang bak air mata sungai murni itu menyorot sendu, seolah meminta untuk dibiarkan tetap bisu sampai waktu yang tak dapat ditentukan.
"Jangan lihat aku begitu."
Katakanlah Sunghoon telah pendam benci. Bukan pada Sunoo, melainkan pada dirinya sendiri yang malah berakhir selalu peduli meski telah berjanji untuk pergi. Seharusnya kini ia dapat hidup dengan tenang, tanpa dihantui bayang-bayang laki-laki tak tahu diri yang nampak terluka ini.
"Kamu juga, apa merasa jijik tiap kali denganku?" ujar Sunoo gamang.
Kalimat pertanyaan itu seolah berdengung di dalam telinganya sendiri. Sunoo merasa seperti berada di dalam ruangan hampa di mana ia sendirian, kesepian, dan hanya ditemani deru napasnya yang semakin pendek sebab tak kuasa menahan sesak pada paru-parunya. Yang tadinya dipenuhi dengan kebun bunga penuh kupu-kupu, kini bunga-bunga itu telah luluh lantak serta akar-akarnya menjalar menusuk seluruh paru-parunya, menyebabkan sakit luar biasa.
"Pertanyaan bodoh."
Sunghoon taruh perhatian pada kedua kaki karibnya, yang hanya memakai sandal rumah dengan berantakan. Sembari menggenggam ponsel di atas perut dengan begitu erat, lalu pakaian biasa yang melekat menjadi pertanda bahwa temannya itu pergi tanpa direncanakan. Yang mana berarti lari ke apartemennya adalah pilihan terakhir yang laki-laki itu punya.
"Aku boleh masuk ya, Hoon?"
Rahangnya mengeras seirama dengan kedua tangan mengepal tinju erat di masing-masing sisi tubuhnya guna menahan amarah yang entah ingin ia lampiaskan pada siapa. Sunoo, kah? Atau malah dirinya yang memilih untuk menjadi tidak berdaya dan tuli.
Belum ada tanggapan dari pemuda yang memiliki nama belakang Park tersebut. Masih betah menelan ragu bagai orang dungu. Hingga pada beberapa sekon kedepannya, pukulan keras mendarat mulus di belakang kepalanya. Memberikan sensasi dengung juga sakit yang teramat sangat.
"Berhenti berlagak kayak orang menyedihkan. Kamu sama sekali nggak membantu." Suara penuh rasa jengkel menyusul pukulan sadis tersebut. Diikuti kemunculan seseorang yang tadi sempat dijadikan sebagai objek kilah basi milik Sunghoon. Park Jongseong, yang segera menghampiri Sunoo dan merangkul pundak yang merosot lemas tersebut.
Lirikan bengis setia dihadiahkan untuk Sunghoon yang kini masih mengaduh kesakitan karena pukulan tangannya tadi tidak main-main.
"Sunoo, kamu jangan dengarkan dia. Manusia satu ini emang mulai sinting." Tanpa dosa Jongseong atau Jay pun membawa Sunoo masuk ke dalam unit apartemen milik Park Sunghoon tersebut.
Seketika Sunoo dan Jay melewati dirinya, Sunghoon menahan tangan kiri sang karib dengan cara menariknya agar lengan pakaian yang Sunoo kenakan dapat sedikit terangkat. Dan benar, hal yang selalu menjadi ketakutan terbesarnya benar-benar menjadi satu-satunya objek pandang oleh jelaganya yang nanar. Baik Jay pun segera terpaku di tempat, terlebih sang empunya.
"Bukannya dari awal aku udah bilang untuk gak pernah setuju? Kamu pikir kamu malaikat yang punya hati suci untuk memaklumi kesalahan orang lain!" Amarahnya enggan mereda. Bagaimana bisa, ketika saat ini hatinya mencelos sakit karena kini tangannya yang sedang menggenggam luka yang menjadi alasan utama kenapa sang teman nampak pucat.
Bibir Sunoo seperti terkunci rapat kala kelemahannya diketahui oleh Sunghoon. Ia merasa seolah sedang ditelanjangi. Seharusnya cukup Tuhan yang tahu betapa lemahnya dirinya, tidak butuh Sunghoon ataupun Jay turut serta. Penderitaannya belum padam.
Jay yang satu-satunya masih punya kendali penuh pada kesadaran dirinya sendiri itu segera mengambil alih tangan Sunoo dari Sunghoon. Kembali menutup titik lemah itu dengan lengan panjang kaos polos hitam yang Sunoo kenakan.
"Sunoo biar tidur di kamarku," finalnya.
(✷✷)
Start : 05 Agustus 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
jamais vu - l.heeseung x k.sunoo
Fanfiction> [Friendly note = Cerita ini remake dari buku saya sendiri dengan judul yang sama tetapi dengan karakter berbeda. Tentu akan ada sedikit rombak menyesuaikan kebutuhan konsep, tetapi secara keseluruhan sama. ] Jamais vu : (n) From the French, meanin...