Mungkin, menjadikannya tumpuan hidup terlalu berlebihan.
Atasan dan bawahan merupakan status yang pantas untuk disandang sampai kapanpun. Pernah dekat, lalu tak lama kemudian ditinggalkan. Jovanka sudah sepantasnya belajar dari pengalaman yang sebelumnya.
Tapi, pada kenyataannya hatinya tak terbuat dari benda yang keras. Sakit masih ia rasakan meski berapa kalipun ia berusaha menguatkan.
Melihatnya datang, memberikan tumpangan, kemudian terjebak berdua di dalam mobil setelah pulang dari rumah sakit dan langsung mengantar Raga ke sekolahnya membuat Jovanka hanya memilih diam. Ia edarkan netra keluar jendela, berharap pagi yang diawali dengan kemacetan lantaran beberapa titik jalan di Ibukota tengah banjir segera usai. Mengingat ini hanyalah satu satunya jalan agar terhindar dari luapan air yang memang beberapa hari terakhir tengah diguyur hujan deras.
Menerima tumpangan dari pria yang menyetir disebelahnya sepertinya memang salah. Ia memang bukan seorang 'perebut' tapi kondisinya saat ini menjerumus kearah sana. Tidak ada wanita baik baik yang berduaan dengan pria beristri bukan?
Mereka memang tidak berbuat zina, tapi dengan suasana yang mendukung seperti saat ini mereka sama saja tengah merangkai sebuah 'dosa'. Dosa yang indah, hingga terjerumus berkali kalipun rasanya tak apa.
"Saya bisa turun disini, lalu berjalan kaki. Nanti saya akan naik ojek saja pulangnya."
Jovanka menggigit bibirnya karena Jerome tidak merespon. Pria itu hanya menatap kedepan lurus lurus dengan kedua tangan berada diatas kemudi. Mencengkeramnya disana seakan juga tidak sabar menunggu kemacetan ini.
Apakah Jovanka mengucapkan kalimat yang salah?
Lalu kemudian... "Apakah kamu tidak nyaman?"
Jelas!
"T-tidak, tidak begitu, Pak. Bapak harus ke kantor, dengan begitu Bapak bisa putar arah dan tidak perlu terjebak macet seperti ini." Jovanka menyahut dengan cepat. Kelewat cepat hingga ia tak sadar telah meninggikan suara. Begitu tersadar, Jovanka pun membekap mulutnya. Ia melirik Jerome, dan mendesah lega karena pria itu masih fokus kedepan.
"Saya menyayangi Tata, dan Mama." Tiba tiba Jerome berujar, pria itu sempat menoleh sesaat. "Itu alasannya."
"Ya? Maksud, Bapak?"
Ini situasi yang akward, Jerome yang bicara sedikit tanpa menyelesaikan ucapannya. Pendiam, adalah situasi yang sulit bagi Jovanka. Jovanka sudah hafal tentang berbagai novel percintaan yang dibacanya. Tapi tidak ada satupun yang karakternya membingungkan seperti Jerome ini. Seharusnya, begitu mereka putus sudah sepantasnya tidak lagi terlibat dalam satu tempat seperti ini. Atau paling tidak Jerome bisa menjelma sebagai sesosok pria dingin yang tanpa hati mencampakkannya. Bukan malah seperti ini, yang ingin membenci pun tidak bisa. Jovanka malah iba dengan Jerome yang sekarang.
Dia seperti Jerome empat tahun lalu, yang diam-diam Jovanka perhatikan karena kian hari kian kurus. Tampilan yang berantakan, hingga sebuah fakta ia temukan bahwa Jerome secara perlahan mulai menyakiti dirinya sendiri.
Atau mungkin Jerome yang sekarang jauh lebih buruk. Ia tersenyum, tapi terkesan dipaksakan. Dia tidak baik-baik saja.
"Ooh, iya. Memang terlihat sekali kok kalau Bapak sangat menyayangi Nona Metta dan Nyonya."
Jalan di depan mulai lenggang, mobil pun bisa kembali bergerak.
Jerome mengangguk samar, lalu berujar pelan. Dan Jovanka semakin bertambah bingung memahaminya. "Itu alasannya."Alasannya?
Alasan apa? Ingin bertanya rasanya tak mungkin. Jovanka tidak ingin mereka terlalu banyak melakukan percakapan.Jovanka seperti menaiki siput dengan mobil yang masih berjalan pelan-pelan. Ia mulai gusar, dan tiba di apartemennya adalah yang paling Jovanka inginkan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
Ficción General18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...