Bab 15. Sakit

936 124 2
                                    

Aku selalu berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik. Namun, nyatanya Freyan selalu berusaha menggagalkanku. Contohnya seperti sekarang, di saat ingin belajar memasak dengan Mbak Fani dipaksa
ikut dengan Freyan. Awalnya aku menolak, tapi bukan Freyan jika tak mengancam.

la mengancam akan memecat Mbak Fani dan para ART lainnya. Entah sudah gila atau bagaimana aku tak tahu. Kupikir Freyan mengajakku nonton bioskop, beli es krim, atau sekadar jalan-jalan.

Ternyata ia membawaku ke halaman
belakang yang ternyata ada kolam
renangnya. Bahkan aku tak tahu jika ada sebuah kolam renang megah yang menjadi bagian rumah ini. Namun, ini salah Freyan yang tak memberitahuku sejak pertama kali
menginjakkan kakiku di sini.

"Sini" Aku mendekat ketika Freyan
menyuruhku.

"Kakak gak pernah kasih tau Kitty kalau ada kolam renangnya,"' protesku.

"Lo gak nanya."

"Ya harusnya Kakak kasih tau Kitty."

"Tapi lo ga nanya."

"Ya harusnya gak usah nanya dulu Kitty-nya."

"Ya nggak mau."

"Ihh."

"Ahh."

"APA?!" Air mataku merembes, entahlah aku merasa sangat jengkel.
Kalian pasti pernah merasa sangat kesal dan jengkel pada seseorang. Terus gak bisa marah, cuman bisa nangis saja kan? Jujur saja.

"Maaf," katanya seraya mengangkat
kedua tangan di depan wajah.

"Dah jangansampai nanti jelek."

"Biarin jelek, orang Kakak aja jahat."
"Jahat gimana?"

"Udah buat Kitty kesel!"

"Yaudah maaf."

"Tidak ada maaf untuk Kakak."

"Yah, kok gitu. Jadi gimana biar dimaafin gimana?"

Aku memikirkan sebuah permintaan
sebagai syarat. Wajahku terlalu serius
hingga Freyan yang memandangku menahan tawa. Rasa kesal itu semakin bertambah di dalam d**a. Tapi, yasudahlah. Tak apa, aku
orangnya penyabar.

"Kita berenang" cetusku dengan semangat.

"Gila lo, ini udah jam tujuh malem."

"Yaudah, Kitty tidak mau maafin kakak."

"Bodo."

Freyan meninggalkanku sendirian. Tubuhnya menghilang ketika memasuki dapur. Ternyata sejahat itu Freyan, aku tak menyangka.

Dengan pikiran kalut serta pipi yang sudah basah, aku duduk di tepi kolam renang. Tak peduli dengan angin malam yang menerpa tubuhku. Biarkan saja sakit, tidak peduli.
Toh aku ini orang yang keras kepala, apa yang aku ingin harus dipenuhi.

Aku mengayun-ayunkan kaki di pinggir kolam. Membayangkan ada monster yang menarikku ke dasar, seperti film-film yang aku tonton.

Benar saja, selang beberapa saat ada
sesuatu yang menarikku untuk masuk ke dalam air. Awalnya aku memberontak dengan mencengkram kaki serta berpegangan pada besi yang ada di tepi kolam itu. Namun, nyatanya tenagaku hanya seperempat dari tenaga monster itu. Kehabisan nafas ketika hidungku sudah
hanyut masuk ke dalam air.

*****

Aku merasa menjadi pria paling bodoh sedunia. Seharusnya tak melakukan hal itu. Bahkan untuk berpikir saja tidak bisa. Sungguh tak punya otak. Ya Tuhan, aku menyesal.

Duduk sendirian di kursi yang berada di sebuah ruang tunggu Rumah sakit. Di depanku ruang UGD terpampang jelas. Cat tembok berwarna putih, serta cat pintu berwarna coklat. Di dalamnya Christy berada, karena kebodohanku.

Niat hanya ingin membuat kejutan untuknya, tapi kenyataannya itu salah besar. Kejutan yang kukira akan membuat Christy tak ngambek lagi, tapi malah mencelakainya.

Pria macam apa aku ini yang membuat istrinya masuk rumah sakit.
Seorang pria dengan jas putih mendekatiku. la melepaskan masker medis yang menutupi sebagian wajahnya.

"Dengan keluarga Nona Christy?"

"Ya, saya suaminya." Ada rasa terkejut di wajah setengah keriput itu. Namun, seketika ia menetralkan rasa terkejutnya itu.

"Nona Christy tidak apa-apa. Dia pingsan karena kehabisan napas saja, kemungkinan dalam tiga puluh menit dia akan sadar" Aku mengangguk paham.

"Saya boleh masuk?"

"Silakan"

Tanpa menunggu lama lagi, aku pergi
meninggalkan dokter itu dan memasuki ruangan tempat Christy berada. Pemandangan pertama yang kulihat adalah tubuh mungilnya yang terbaring lemas di atas dipan.

Aku seperti dejavu melihat pemandangan itu. Dulu ya dulu, saat Christy masuk rumah sakit karena telat makan dan aku sangat tak
peduli. Namun, sekarang berbeda, aku yang menyebabkannya masuk rumah sakit dan aku sangat peduli.

Aku menyentuh pipi gembulnya yang terasa dingin. Bibir yang biasanya merah pun sekarang terlihat biru.

"Maafin gue," ucapku seraya menggenggam erat dan mencium punggung tangan itu.

"Gue...gue sayang banget sama lo, Chris. Emang awalnya gue benci, tapi makin kesini gue makin sayang sama lo."

Aku terdiam menahan tangis yang ingin tumpah. Ada rasa sakit yang menjalar di dadaku. Penyesalan yang datang karena kebodohan diri sendiri.

"Kitty juga sayang sama Kakak."

Aku mendongakkan kepalaku, terkejut. Gadis yang membuat cemas ini tersenyum dengan lebar. Namun, seketika menjadi tawa renyah ketika melihat air mata yang jatuh di pipiku. Aku terlihat lemah di depannya.

"Jangan kayak gini lagi, gue takut." Aku memeluknya dengan erat. Menangis di pelukannya sungguh sangat nyaman.

"Ihh, cengeng."

"Biar lah, gue sayang sama lo. Gue takut kehilangan lo."

"Ciee, yang waktu itu kayak es batu,
sekarang udah cair cieee."

"Bodo, pingsan aja sana!"

"Ihh, marah. Nanti cepet tua."

"Bodo."

Kami tertawa bersamaan, rasa bahagia seketika menembusku. Tuhan, izinkan kami seperti ini selalu. Melihat tawanya saja sudah membuat hati menghangat. Semoga tawa itu tak pernah hilang.

Kutatap kegiatannya, mulai dari duduk bersandar di dinding, membenahi rambut, lalu mengorek kantong celanaku yang ternyata tersimpan sebuah lipstik.

Bagaimana bisa ada lipstik di dalam
kantongku? Siapa lagi pelakunya kalau bukan Christy. Ia hanya tertawa melihat itu.

"Kak, ayo foto dulu," seraya menariknya agar lebih dekat dengannya. Dengan terpaksa pun harus menuruti permintaan gadis itu.

"Bagus. Kitty upload di IG ya?"
Aku mengangguk, biarkan saja dia
melakukan apapun yang dia mau. Tak lama kemudian, ponselku berbunyi.

la melihat sambil menunjukkan deretan gigi putih yang rapi. Dengan percaya diri kulihat postingan tersebut, yah, mungkin caption
yang ditulis Christy seperti kagumku.

"Kirim."

la melihat, menelaah apa yang disuruh. Namun, tak menemukan titik terang. Wajah cengo dan bego itu membuatku menoyor dengan pelan, itu membuatnya sebal, bibir mungilnya maju beberapa senti,
membuatku menciumnya tanpa
Aba-aba.

"Fotonya dikirim lewat WA."
Setelah mengetahui apa yang dimaksud, ia mengirimkan foto yang baru saja dijepret.

"Terima kasih, cantik."
Jariku dengan lihai menulis caption**,
Sebuah kalimat yang membuat tersenyum-senyum sendiri. Sederhana, tapi efeknya begitu besar.

Hari ini author double up lagi, karna author fokus ke cerita yg ini jadi bisa sering double up hehe

NIKAH SMA (FreChris) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang