-🌤-
.
.
Panggilan telepon dari Novita sukses membuat Senja yang sedang mengunyah bakpia pemberian Puji terbatuk. Gadis mungil itu mendadak berdiri dari kursinya sambil mengarahkan pandangan ke sekitar. Tentu saja dengan mulut yang ia paksa berhenti mengunyah.
"Kenapa Senja?" Nadine bersuara keras dari kursinya. Sudut matanya cepat merespon pergerakan Senja. "Bukannya aku baru saja memberimu tiga bundel map yang harus kamu kelompokkan sesuai dengan tanggal dikeluarkannya berkas-berkas dalam map itu? Nggak usah pakai alasan pura-pura cari toilet deh. Waktu kita mepet."
Senja menelan utuh bakpia yang tersisa dalam mulutnya. "Bu Novita barusan menghubungiku, Bu. Beliau bilang aku harus segera datang ke rapat petinggi perusahaan."
Marlo dan Juki serentak memutar bola matanya ke arah Senja.
Semua orang dalam ruangan itu tentu tahu bagaimana tak terterjemahkannya perilaku Senja kala rapat bersama tim Yayasan Rumah Ramah Yatim beberapa waktu lalu. Gadis dengan senyum semanis gulali itu membuat Mayashka bingung karena mendadak berteriak di tengah-tengah pemuda itu sedang menyampaikan pendapat.
"Terus yang disuruh ke sana hanya kamu saja atau kami juga?" Marlo melempar pertanyaan. Posisinya seolah tengah bersiap meloncat dari kursi kalau seandainya Novita meminta seluruh member subunit kerja sama ikut ke ruang rapat. Bahagia sekali meninggalkan meja kerjanya.
"Aku aja, Pak Marlo."
"Berarti positif itu." Juki menyela cepat. "Kalau kamu aja yang disuruh ke sana, berarti positif."
"Positif kena covid-19, Pak?" Puji menyeletuk asal. Cepat-cepat menepuk tangan untuk membersihkan jari-jari dari remahan bakpia. Barusan ia mengobrol begitu dekat dengan Senja, waspada ikut tertular.
Juki menatap Puji dengan tatapan zombi keselek biji bayam. Kesal. "Yang bener kalau nanya itu Puji. Positif maksudku itu berarti Senja dipanggil ke sana karena ada masalah. Nggak mungkin karena baek-baek aja. Kenapa bawa-bawa si covid sih? Aku jadi parno 'kan."
Senja melangkah menjauh dari meja kerjanya. "Kok Pak Juki bilangnya gitu?"
"Kamu masih magang untuk tiga bulan ke depan. Kamu dipanggil ke rapat ketua divisi dan jajaran di atasnya, kalau bukan karena prestasi yang menjulang sebab jadi karyawan teladan yang berhasil menyelamatkan perusahaan dari kerugian tentu karena kesalahan mendadak yang membuat citra baik perusahaan jadi terancam." Juki mengalihkan pandangannya pada Nadine dan Marlo, "bagaimana mungkin aku nggak bilang yang kamu dapat itu masalah, soalnya kami belum melihat prestasimu untuk perusahaan, Senja. "
"Jadi aku harus bagaimana ini Pak?"
"Siapin doa rukiah dulu deh. Kalau perlu sekalian ama rapalan penolak bala." Marlo dengan entengnya bergurau. "Atau coba cek khodam, siapa tau bisa bantu."
Nadine melempar protes keras pada rekannya, cemberut maksimal. "Bukan waktu yang tepat untuk bercanda, Marlo!"
"Kalau kamu benar, kenapa harus takut Ja?" Puji ikut berdiri dari duduknya, tak bisa banyak membantu tapi berusaha memilih diksi yang menguatkan. "Siapa tau di sana nggak seperti yang kamu khawatirkan."
Nadine tentu tak bisa menahan Senja meski ada tiga bundel map menumpuk di meja gadis manis itu. Ia tahu, Novita tak mungkin sembarangan memanggil orang, apalagi untuk menghadiri rapat para petinggi. "Bergegaslah ke sana Senja! Jika terlambat mungkin kamu malah benar-benar akan kena masalah."
...
Langkah Senja patah-patah menyusuri koridor gedung. Ingatannya sibuk mengolah informasi soal kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai-sampai ia ikut dipanggil dalam rapat para koordinator perusahaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
No Ficción[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...