Aku sengaja duduk di ruang keluarga dengan kondisi gelap. Tidak ada lampu maupun lilin yang menyala, hanya saja cahaya bulan memasuki ruangan tanpa permisi. Tak lupa aku menata bunga tulip yang sudah setengah layu itu di dalam vas bunga. Lengkap dengan kartu ucapan yang aku kaitkan di vas bunga itu.
Sekarang aku hanya perlu menunggu. Bukan menunggu kepulangan mas Ratan lagi, aku hanya menunggu jawaban apa yang akan dia berikan. Alasan apa yang akan dia gunakan. Lalu aku akan mengambil keputusan.
Akhirnya lampuku menyala, pertanda bahwa yang ditunggu telah tiba. Amarahku semakin membara saat mendengar langkah kakinya yang mendekat ke arahku.
"Sayang? Kamu belum tidur? Kenapa kamu duduk di tengah kegelapan begini?" Tanya mas Ratan sembari melepaskan jasnya lalu duduk di sebelahku.
Aku hanya terdiam sembari menatap lurus ke arah mas Ratan.
"Aku ada makan malam sama pak Adam, jadi aku pulang telat. Aku udah coba menghubungi kamu, tapi kamu enggak angkat telepon aku." Jelas mas Ratan.
"Ternyata selain Jennifer ada Erina?" Tanyaku dengan nada serius.
Mas Ratan terlihat terkejut mendengar pertanyaanku.
"Jawab aku." Aku menatapnya serius.
"Apa maksud kamu?" Raut mas Ratan terlihat panik.
"Jangan berlagak bodoh kamu!" Sentakku.
Aku berdiri sembari berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh.
"Nia kamu kenapa? Aku enggak ngerti maksud kamu." Mas Ratan terus mengelak.
"Kamu pikir kamu bisa membodohi aku terus terusan? Aku kira diamnya aku selama ini setelah semua yang kamu lakukan di belakang aku bisa membuat kita terus bertahan. Tapi ternyata enggak semudah itu. Cuma aku yang berusaha mati matian mempertahankan pernikahan ini, sedangkan kamu malah menghancurkannya perlahan lahan." Ucapku tegas dengan air mata yang mengalir tanpa sadar.
"Nia tenang dulu, aku bisa jelasin semuanya." Mas Ratan berusaha untuk memegang tanganku.
"Jangan sentuh aku. Tenang? Kamu mau aku tenang setelah semua yang terjadi? Bercanda kamu enggak lucu." Aku menepis kasar tangannya.
"Sayang, aku bisa jelasin. Kita bisa bicara baik baik. Jangan begini." Dia masih berusaha membujukku.
"Kenapa harus tulip? Dari sekian banyaknya bunga yang ada di dunia ini kenapa kamu memilih tulip sebagai bunga yang kamu berikan ke Erina? Kenapa?" Ucapku sembari menunjuk ke arah vas bunga yang berada di atas meja.
Mas Ratan memandang mengikuti arah telunjukku. Terlihat jelas raut wajahnya yang begitu terkejut, dia mungkin tidak pernah menyangka akan hal ini.
"Aku sama sekali enggak ngerti sama maksud kamu." Ucapnya terbata bata.
"Kamu masih bisa ngelak setelah semuanya udah jelas? Hebat banget kamu."
Aku berusaha mengatur nafasku, bahkan sesekali memukul mukul dadaku. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.
"Nia aku-"
Prankkk!!
Aku mengambil vas bunga itu lalu membantingnya di depan mas Ratan. Hingga pecahan kacanya tersebar di lantai yang masih aku pijak.
"Pergi kamu!"
"Nia tunggu. Aku akan jelasin semuanya pelan pelan, kamu harus dengar aku." Ucap mas Ratan sembari berusaha menenangkanku.
"PERGI!" Aku melangkah maju untuk mendorong mas Ratan.
Tanpa sadar aku melangkah maju melewati pecahan vas yang secara langsung melukai kakiku. Aku mendorong mas Ratan dengan kasar agar dia pergi dari hadapanku. Rasa sakit di kakiku bahkan tidak lebih sakit dari apa yang hatiku rasakan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi Bersama Hujan
Любовные романыTak semua yang kita tahu harus diutarakan. Kadang malah memilih untuk memendam padahal tahu rasanya sesakit apa, karena akan lebih sakit jika diungkapkan. Diam juga merupakan sebuah cara, bahkan ada yang bilang bahwa diam adalah emas. Kalau begitu a...