18. Masalah Yang Harus Diselesaikan.

633 56 0
                                    

"Kamu dari mana aja, sih? Kakak pusing nyariin tahu," keluh Dhafin, saat berhasil menemulan Byan di taman rumah sakit.

Anak yang sedang dicarinya malah santai-santai rebahan sambil mendengarkan musik. Padahal Dhafin sudah panik mencarinya dari semalam.

Byan yang pelaku menghela napas panjang, dia merubah posisinya menjadi duduk bersila.

"Habis jenguk pak Rarjo, katanya kecelakaan," jawab Byan seadanya.

Namun, mata Dhafin malah langsung memicing curiga. "Tengah malam?" tanya Dhafin tidak percaya.

Untungnya Byan selalu jujur, jadi dengan Dhafin tidak pernah ada yang disembunyikan. Jadi setelah beberapa saat, Byan memberikan jawaban yang simpel.

"Diculik juga sih sebenarnya, tapi karena pak Rarjo kecelakaan, Byan mau." Byan menyusun kalimatnya dengan binggung.

Sementara Dhafin, tidak bisa untuk menghela napas jengah. Keduanya duduk, menikmati sejuknya di bawah pohon di jam dua belas siang ini.

Dhafin banyak bertanya, seperti sudah makan? Atau apakah obatnya sudah diminum? Selebihnya mereka seperti dua saudara pada umumnya. Terlihat lengket atau kadang-kadang bertengkar.

Mereka melakukan itu beberapa jam, hingga dehemen seseorang mengalihkan perhatian yang dibangun di awal. Byan menolek ke belakang, melihat dokter Laka yang ikut bergabung.

Dhafin sendiri tidak banyak komentar. Lagi pula, mereka bertiga sudah saling kenal, bukan?

"Kalian membicarakan apa, sih?"

Dhafin langsung menatap Byan beberapa saat, sebelum pada akhirnya menjawab. "Soal keluarga Byan."

"Tadi malam saya melihat saudara kembar kamu menjemputmu, dan sekarang kamu kabur lagi?" tanya dokter Laka sambil menatap Byan.

Sebenarnya dokter Laka melihat semuanya. Hanya saja dia tidak membicarakan itu kepada Dhafin. Biarkan anaknya tidak terlalu menganggu Byan.

Dhafin tampaknya kesal, ia seperti dibohongi, karena ternyata sang papa tahu ke mana kemarin Byan pergi, tapi malah tidak bicara.

Dengan rasa permusuhan, Dhafin ingin protes, tapi urung saat melihat tatapan papanya.

"Kamu tidak lelah? Sembunyi seperti seorang penjahat di mata keluarga sendiri? Atau kamu punya tempat yang banyak untuk terus sembunyi seperti ini selamanya?"

Byan terlihat sedikit mengakat pandangannya saat mendengar pertanyaan dokter Laka dilontarkan.

"Byan, kamu kabur dari masalah saya bantu. Tapi hanya sementara, karena waktu tidak pernah berjalan untuk masalah yang sama dalam waktu lama. Terkadang kamu harus berani menyelesaikannya."

Mata Byan semakin terbuka lebar, apalagi saat dokter Laka yang sangat hangat selalu Byan dengarkan kata-katanya.

Dokter Laka adalah orang yang selalu tahu luka seseorang, matanya terlalu jeli kalau Byan menyembunyikan perasaannya.

"Byan, kamu juga tidak bahagia, kan? Sejauh mana kamu lari mengejar kebahagiaan itu, kamu tidak pernah menemukannya?" Byan tanpa sadar mengangguk, membuat dokter Laka tersenyum kecil.

Dokter Laka mengarahkan tangannya pada dada Byan, menyetuhnya dengan lembut. "Hati kecil kamu tidak pernah menemukan kelegaan. Ia selalu tertekan karena masalah yang tidak selesai."

Byan terbelenggu, ia tidak bisa mengelak lagi. Bukan hanya logikanya yang merasa pernyataan dokter Laka benar, tapi hatinya juga langsung merasakan guncangan. Apa selama ini Byan salah? Kabur dari mereka bukanlah hal yang ingin Byan lakukan untuk selamanya?

Hatinya masih menginginkan, atau pikirannya juga bisa dikatakan gelisah karena mereka tidak pernah tahu yang sebenarnya. Byan hanya selalu menyembunyikan masalah, bukannya berani unjuk kebenaran.

"Saya tahu kamu kuat, saya tahu kamu hebat, jangan pernah berpikir kamu akan padam hanya karena tertiup sedikit badai. Jalan selanjutnya jauh lebih panjang, jika kamu berhasil melalui yang sekarang."



***
"Ke mana Byan pergi, ke mana?!" amuk Alfa, saat mengetahui Byan sudah tidak ada di taman belakang bersama dua pekerja rumahnya.

Alfan amat-amat kesal, karena tidak berhasil menahan Byan untuk tetap tinggal di rumah. Apalagi setelah bertemu bu Sari sekalipun.

"Bagaimana Byan bisa kabur?" tanya Alfan yang sedikit lebih tenang.

"Saya yang membantu," jawab pak Rarjo cukup berani.

Jelas itu menyulut emosi Alfa yang memang sudah dipuncak. Tatapan Alfa begitu tajam, membuat Brayen tidak berani menengahi.

Pak Rarjo juga seakan tidak takut, beliau kembali bersuara. "Byan yang ingin kabur, dan saya tidak mungkin mencegahnya."

"Apa maksud kamu?!" Brayen ikut tersulut. "Harusnya kamu membantu Byan agar mau tinggal di rumah ini, harusnya ...."

"Sayapun tidak akan tega membiarkan Byan tinggal di rumah ini, selama kebenaran satu tahun lalu maupun yang sudah lama berlalu belum terungkap."

Alfa kehilangan kata-katanya, ia cukup binggung saat Pak Rarjo menyebut kejadian yang sangat mengerikan itu. Di mana jelas Byan menjadi orang yang sangat anarkis, tidak peduli itu lawannya Nara.

Namun, pak Rarja yang melihat semua orang terdiam menyahkan Byan lagi. Jadi keputusannya memang benar bukan?

"Byan hanya korban, bukan pelaku. Terserah kalian percaya atau tidak."

Lilin Kecil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang