Greshan; mine.

653 58 13
                                    

Happy reading!

Di sebuah restoran mewah yang dikelilingi lampu-lampu temaram dan alunan musik jazz lembut, reuni angkatan SMA berlangsung meriah. Para alumni berkumpul, wajah-wajah yang dulu akrab kini dihiasi garis waktu, tetapi semangat nostalgia menyatukan mereka kembali. Gelak tawa, pelukan hangat, dan obrolan tentang masa lalu memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang penuh akan kehangatan.

Gracia tiba di tempat itu bersama Shani, pacarnya. Mereka berjalan berdampingan, mencuri perhatian beberapa orang yang mengenali keduanya. Gracia dengan karismanya yang tenang dan Shani dengan senyum lembutnya yang memancarkan kehangatan. Meski datang bersama, mereka memutuskan duduk terpisah karena dulu berada di lingkaran pertemanan yang berbeda. Shani menuju meja di sudut bersama Sisca dan Feni, sementara Gracia bergabung dengan teman-teman lamanya, Jinan dan Oniel, di dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota.

“Gracia! Lama nggak ketemu!” sapa Jinan dengan antusias, suaranya menandingi riuh rendah suasana di ruangan itu.

Oniel menambahkan dengan nada bercanda, “Lo kelihatan lebih keren dari dulu, Gre. Udah upgrade, ya?” 

Gracia tertawa kecil, lalu duduk santai di kursinya. “Emang. Baru sadar, Niel? Eh, kalian gimana kabarnya?” tanyanya sambil menyilangkan kakinya, gestur yang menegaskan kepercayaan dirinya. 

“Baik banget.” jawab Jinan dan Oniel hampir bersamaan, membuat mereka tertawa. 

Percakapan pun mengalir dengan lancar. Mereka mengenang masa-masa SMA—kenakalan kecil di kelas, pertandingan futsal antarangkatan, hingga cerita cinta monyet yang pernah jadi rahasia di antara mereka. Gracia mendengarkan dengan seksama, sesekali menyisipkan komentar yang memancing gelak tawa.

Namun, di sudut ruangan lain, Shani tak bisa sepenuhnya menikmati obrolannya dengan Sisca dan Feni. Pandangannya beberapa kali melirik ke arah Gracia, memperhatikan bagaimana pacarnya tertawa lepas bersama teman-temannya. Rasa tidak nyaman mulai mengusik ketika dia menyadari kehadiran seseorang di meja Gracia. Anindhita—atau yang biasa dipanggil Anin—datang dengan senyum lebar, langsung menyapa Gracia dengan akrab. 

“Gracia, senang bisa lihat kamu di sini,” suara lembut Anin seakan membawa Gracia kembali ke masa lalu. 

Gracia tersenyum, menatapnya dengan hangat. “Senang bertemu kamu lagi, Anin.” 

Obrolan mereka mengalir dengan mudah. Anin bercerita tentang kehidupannya setelah lulus SMA, pekerjaan yang kini digelutinya, dan perjalanannya ke berbagai tempat. Gracia mendengarkan penuh perhatian, terkadang tertawa ketika Anin menyisipkan humor di cerita-ceritanya. 

Shani yang memperhatikan dari jauh mulai merasakan dadanya menghangat oleh emosi yang tak bisa dia bendung. Sisca, yang duduk di sebelahnya, segera menyadari perubahan ekspresi itu. “Shani, lo kenapa? Jangan bilang lo cemburu, deh,” godanya sambil menyikut lembut lengan Shani. 

Shani mendesah pelan, mencoba menyembunyikan rasa gelisahnya. “Nggak, kok. Nggak ada apa-apa.” Tapi tatapan matanya berkata sebaliknya. 

“Yakin?” Feni ikut menimpali dengan senyum penuh arti. 

“Udahlah. Aku nggak mau ribut di sini.” jawab Shani akhirnya, meski pikirannya terus tertuju pada Gracia dan Anin. 

Di meja Gracia, suasana semakin akrab. Anin mulai membicarakan rencana liburannya berikutnya. “Kalau kamu ada waktu, kita bisa traveling bareng. Aku tahu tempat yang pasti bakal kamu suka.” katanya dengan nada yang terdengar lebih dari sekadar basa-basi. 

Oneshot; Gracia vs EverybodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang