Kemacetan lalu lintas menyapa pagi Jakarta seperti biasanya. Sesuai dengan janji yang Calvin buat, laki-laki itu menjemput Shakila di rumahnya untuk pergi bersama ke sekolah sebagai ganti permintaan maaf karena memilih kabur ke Singapore pada seminar yang dilaksanakan minggu lalu.
Dalam perjalanan menuju Pelita Cahaya, Shakila yang hanya duduk terdiam memperhatikan jalan membuat Calvin merasa sepertinya dia belum dimaafkan sepenuhnya.
"Sha, nanti lo pulangnya gue bolehin nyetir mobil gue, deh."
"Oke." Jawab Shakila pendek.
Mengetahui bahwa gadis itu masih sangat ingin berlatih menyetir Calvin bahkan sudah merelakan mobil barunya untuk dikendarai oleh orang lain selain dirinya (Calvin sebenarnya masih takut dengan kemampuan menyetir Shakila!), tentu saja dia tidak puas dengan jawaban singkat Shakila.
"Shaaa, lo kalo masih marah sama gue mendingan marah beneran aja deh." Calvin menantikan pukulan yang akan diterima lengannya atau bahunya, namun dia hanya mendengar Shakila yang menghela nafas dengan berat.
"Gue gak marah sama lo, lagipula gak ada tenaga buat marah atau melakukan apapun hari ini." Shakila mengeratkan pelukan pada tas sekolah yang berada di pangkuannya.
"Lo sakit?" Tanya Calvin dengan khawatir. "Mau pulang aja, gak?"
"Gue gak sakit, dan masa bolos sih? Sebentar lagi mau ujian kita, Vin!"
"Terus lo kenapa lesu gini?"
"Khawatir.... Sama masa depan gue."
"Luna cari gara-gara lagi, ya?" Calvin menebak.
"Gak diapa-apain, all she did was trash talk anyway."
"Tapi bikin lo kepikiran." Lagi-lagi Calvin dapat menebak isi pikiran Shakila, "Jadi apa yang lo khawatirin? Bukannya abis seminar lo harusnya udah gak galau lagi?"
"Gue jadi lebih sadar kalo ternyata gue benar-benar gak punya rencana yang jelas kedepannya. Bukan cuman karena gak tau mau masuk jurusan apa, tapi nilai-nilai sekolah gue yang biasa aja, terus gue gak punya hal lain untuk membantu rapot gue kayak sertifikat lomba misalnya."
Calvin mendengarkan keresahan Shakila dengan seksama. Sama-sama menyandang status sebagai siswa kelas
3 SMA, Calvin juga dapat memahami itu semua.
"We saw each other's report card before, dan nilai-nilai lo bagus semua kok, Sha. Emang bukan rangking 1, tapi bukan berarti lo gak pintar. Dengan nilai rapot lo, sangat amat memungkinkan untuk diterima di univ manapun, do you ever think about london?" Kata Calvin yang berencana melanjutkan kuliahnya disana, setengah membujuk gadis itu untuk mengikuti jejaknya, "Gue yakin lo bisa masuk, sih."
"Itu sih lo aja nyari barengan, biar gak sendiri disana, kan?" Kata Shakila, "Tapi, Vin, menurut lo dengan nilai yang biasa itu gue masih punya harapan?"
"Masih bisa, percaya deh sama gue." Kata Calvin dengan yakin, "Sha, lo kan aktif volunteer di Husada, gak kayak gue yang sering cabut. Nah ini bisa jadi tambahan pengisi aktivitas lo."
"Tapi itu gak ada hubungannya sama jurusan hukum!" Shakila mengelak. Luna aktif berada di yayasan yang membela kasus-kasus berkaitan dengan perempuan, Calvin yang mencoba membuka usaha di bidang F&B, sementara kegiatan Shakila di yayasan adalah membantu para pengurus panti anak yatim piatu.
"Tapi dari sana lo kan belajar banyak hal, Sha." Calvin menjelaskan, "Tujuan utama volunteer tuh bukan buat menyusun berkas kuliah, but to give back to those who are less fortunate than us."
KAMU SEDANG MEMBACA
Highschool Society
Художественная прозаSiapa bilang jadi seorang "teenager" itu mudah? Banyak sekali yang harus dihadapi oleh mereka; sekolah, boys, social agenda, masa depan, dan segunung permasalahan lainnya! Written in: Bahasa Indonesia.