Cahaya pagi menyinari meja makan sarapan sudah siap di meja, diatur rapi oleh Bi Inah, pembantu rumah tangga mereka yang hampir 20 tahun bekerja di sini. Bi Inah selalu tahu bagaimana cara membuat suasana pagi lebih hangat, meskipun seringkali Salsa merasa seperti dia hanya menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.
Salsa duduk di meja makan bersama orang tuanya. Ibunya, Widya, mengaduk kopi sambil sesekali melirik jam, sementara ayahnya, Wishnutama, tampak fokus pada koran yang dibacanya. Obrolan mereka pagi itu agak berbeda dari biasanya. Wishnutama menurunkan korannya dan memulai pembicaraan dengan nada serius.
"Ca papa perlu ngomongin sesuatu yang penting," katanya, suara tegasnya memecah keheningan pagi.
Salsa mengangkat alis dan mengalihkan pandangannya dari piringnya. "Ada apa, Pa?"
Widya tersenyum lembut, berusaha menyeimbangkan suasana. " Papa sama Mama sudah memikirkan tentang masa depan kamu dan Papa sama Mama rasa ini saat yang tepat untuk membicarakannya."
Wisnutama melanjutkan, "Papa berniat menjodohkanmu dengan anak teman kerja Papa, Ardi. Dia adalah pria yang baik dan berpendidikan, dan papa rasa dia bisa menjadi pasangan yang cocok buat kamu"
Salsa menahan napas, merasakan ketegangan di dalam dadanya. Dia sudah mendengar tentang perjodohan ini sebelumnya, tapi mendengarnya langsung dari mulut orang tuanya membuatnya semakin merasa terjepit. Dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tidak bisa dia tolak, dan semua yang bisa dia lakukan adalah menerima.
"Papa, Mama, aku—" Salsa mencoba berbicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia merasa seolah semua yang ingin dia katakan sudah tak berarti lagi di hadapan keputusan yang sudah dibuat.
Widya meraih tangan Salsa, "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Kami yakin kamu akan bahagia."
Salsa tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan rasa kecewa dan frustrasinya. Dia tahu, di rumah ini, keputusan orang tua adalah sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat. Dia hanya berharap suatu saat nanti dia bisa menemukan kebahagiaan dalam situasi yang sudah ditentukan untuknya.
Di luar rumah, Salsa sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit. Ia telah mengenakan jas putihnya dan memasukkan semua perlengkapan kerjanya ke dalam tas. Langkahnya terasa berat saat ia menuju mobilnya, merasakan kepenatan emosional yang mengikutinya sejak pagi.
Tiba-tiba, Bi Inah muncul di parkiran dengan langkah cepat. Wajahnya penuh perhatian dan tangannya memegang kotak bekal yang tertinggal. "Non caca ini bekal nya lupa di bawa," katanya dengan lembut.
Salsa menoleh dan langsung merasakan air mata menggenang di matanya. Tanpa bisa menahan diri, dia memeluk Bi Inah dengan erat. Tangisannya pecah, dan ia merasa seperti seluruh beban emosinya jatuh bersamaan dengan pelukan itu.
"Bi Inah…terima kasih ya udah selalu ngertiin caca dari caca kecil sampai caca dewasa tapi Bi kenapa mama papa selalu memaksa caca buat ini itu dari dulu? Dari dulu sampai sekarang, semuanya terasa seperti beban, caca juga mau hidup sesuai dengan apa yang caca mau dan caca pilih" ucap Salsa dengan isak tangis yang terputus-putus.
Bi Inah memeluk Salsa dengan penuh kasih sayang, seolah-olah dia adalah ibu kandungnya sendiri. "Sabar ya non, bibi percaya kalo non caca kuat menghadap semuanya, kadang orang tua melakukan hal-hal yang menurut mereka terbaik termasuk mama papa, meski kita tidak selalu setuju. Tapi mama papa sayang sama non caca meski cara mereka menunjukkan cinta itu tidak selalu sama dengan apa yang non butuhkan."
Salsa menggenggam erat pelukan Bi Inah, merasa sedikit tenang di tengah kebisingan emosinya. "Tapi aku merasa terjebak, Bi. Aku nggak pernah punya kebebasan untuk memilih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Rasa
Fiksi PenggemarDi Jakarta, ada Salsa, seorang psikolog yang nggak cuma cantik, tapi juga pintar banget. Dia dari keluarga terpandang, jadi dari kecil udah dapet pendidikan yang oke punya. Setiap hari, Salsa kerja di rumah sakit, ngebantuin pasien-pasiennya yang pu...