"Mungkin sudah saatnya aku mengakhiri hidupku", dengan menggenggam sebotol parfum AXE milik Ibuku dan mulai mengirim pesan WhatsApp ke salah satu laki-laki yang sedang dekat denganku saat itu. Aku mulai menyemprotkan parfum itu ke dala mulutku dan menelan cairannya sedikit demi sedikit. Tidak ada rasa seperti orang yang akan mati setelah meminumnya, hanya saja aku mulai mengeluarkan air liur yang sangat banyak dari mulutku. Yang awalnya hanya berupa cairan, lama-kelamaan berubah menjadi buih-buih busa. Saat keadaan seperti itu, masih sempat-sempatnya aku mengirim pesan ke gebetanku itu dengan kalimat, "Kenapa aku tidak mati ya? Aku hanya berliur dari tadi". Bodoh sekali aku mengirim pesan itu dan menggagalkan aksi mengakhiri hidup itu.
Dari depan kamar, Ibuku dan Kakak perempuanku membuka pintu dan langsung memelukku. Ibuku menangis di depan mataku yang saat itu aku masih sangat sadar dan bisa merasakan genggaman dan pelukan eratnya, walaupun rasanya aku seperti sudah tidak bertenaga untuk sekadar menyapa Ibuku yang menangis saat itu. Kakakku keluar kamar dengan tergesa-gesa, mungkin berlari, dan mencari pertolongan ke kerabat dekat rumahku yang memiliki mobil. Dia meminta bantuan untuk membawaku ke rumah sakit, tepatnya IGD. Dan itu adalah pengalaman pertamaku di ruang IGD.
***
"Apa yang membuatmu seperti ini, dek?", tanya perempuan berbaju putih dan menggunakan kerudung yang saat itu aku tahu bahwa dia adalah seorang perawat di rumah sakit itu.
Aku hanya menggelengkan kepalaku dan menatapnya seakan aku sudah putus asa dan merasa sia-sia.
Dia mulai mengenalkan dirinya kepadaku yang saat itu hanya diam diajak bicara olehnya, "Aku perawat di sini. Namaku Arini. Kamu boleh bercerita padaku tentang masalahmu. Jangan dipendam sendiri ya. Aku tahu tubuh kecilmu itu tidak akan mampu, jika kamu memendamnya sendiri. Aku akan mendengarkanmu",
Aku yang mendengarnya seperti itu, merasa terketuk hatiku untuk mengungkapkan alasanku melakukan hal seburuk itu. "Ibuku berselingkuh, aku dibiarkan sendiri saat aku ulang tahun, aku ditinggalkan semua yang aku sayangi, dan aku...", aku terhenti berbicara karena air mataku mulai keluar satu persatu dari mataku.
"Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja, sambil aku mulai merawatmu ya", ucap perawat itu sambil menyiapkan beberapa peralatan untuk memulai mencuci lambungku.
Aku melihatnya menyiapkan selang, wadah untuk menampung cairan yang akan dikeluarkan dari lambungku, dan mulai menginfusku.
"Apakah kamu seputus asa itu sampai kamu ingin berhenti untuk hidup?", tanya perawat itu.
"Iya...", jawabku pelan
Perawat itu mulai memasangkan kateter pada alat vitalku, tepatnya di lubang pipis. Rasanya sangat sakit sekali. Pemasangan kateter itu yang menyadarkanku bahwa rasa sakit mati seperti ini. Aku tidak sanggup dan aku tidak mau lagi mengulangi hal bodoh seperti itu.
"Maaf ya, sedikit sakit", ucap perawat itu sambil memasang dan mengepaskan kateternya. Rasanya benar-benar sakit sampai aku ingin berteriak lantang dan memenuhi ruangan IGD itu. Tapi ternyata, rasa maluku lebih besar daripada rasa sakit yang aku rasakan. Aku hanya diam dan merasakan rasa sakitnya sendirian, tentunya aku sambil menangis perih.
"Sudah selesai. Sekarang, aku mulai masukkan selangnya ke hidungmu dan nanti aku masuk sampai ke lambungmu ya. Ikuti saja arahanku. Tahan nafas dulu...", aku menahan nafas dan mulai melihat selang itu masuk ke dalam rongga hidup dan aku merasakan selangnya masuk ke tenggorokanku. "Buang nafas...", dia berhenti memasukkannya dan memintaku untuk tahan nafas lagi setelahnya. "Tahan nafas lagi...", selang itu mulai masuk lagi lebih dalam dan setelahnya perawat itu berhenti. "Sudah. Kamu bisa bernafas seperti biasa lagi", aku membuang nafasku dan merasakan lega setelahnya. namun itu belum selesai.
"Aku akan memulai membersihkan lambungmu ya. Kamu bisa melihat cairannya melalui selang itu", perawat itu sambil melihatkan selang yang masuk ke hidungku dan aku melihat cairan hitam pekat yang keluar dari selang itu.
"Sepertinya cukup banyak cairan yang kamu minum. Memangnya tadi kamu minum apa?", tanya perawar itu.
"AXE", jawabku singkat.
Perawat itu mengangguk dan melanjutkan tugasnya untuk membersihkan lambungku. Aku memerhatikan banyak sekali cairan yang keluar dari selang itu. Warnanya hitam ke warna merah pekat dan ke warna bening seperti air.
Setelah selesai, perawat itu hanya mengatakan prosedurnya sudah selesai dan meninggalkanku. Ibuku masuk ke dalam ruangan dan menangis lagi di hadapanku. Hanya saja aku merasa kecewa, ternyata perawat itu sama saja. Bertanya dan meninggalkanku. Hanya penasaran, tidak benar-benar peduli.
***
Saat aku membuka mata, aku sudah di ruangan yang berbeda. Aku berpindah ke bangsal pasien kelas VIP. Aku melihat depatku ada TV besar dan ruangannya cukup luas juga. Aku mulai menyukai rumah sakit sejak saat itu.
Di sana sudah ada Ibuku, Bapakku, dan Kakak serta adikku. Aku terbaring di atas kasur rumah sakit dengan diselimuti selimut kesayanganku yang terdapat motif bunga dan berwarna putih biru itu. Sejak kapan mereka membawanya ke sini? Rasanya aku tidak pernah mengatakan bahwa aku ingin selimut ini. Sudah ada boneka kesayanganku juga yang dibelikan Ibuku pada saat aku kelas 1 SMP sebagai hadiah aku masuk sekolah favorit keinginannya. Boneka Doraemon yang selalu aku peluk saat malam. Saat aku merasa sendirian di rumah tanpa seorang pun yang menemaniku. Rumah kecil, tapi rasanya besar karena hanya ada aku saja di rumah itu.
"Kamu sudah bangun dek? Ibuk habis beli apel sama jeruk. Kamu mau?", Ibuku menyodorkanku buah apel yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan memalingkan wajahku ke arah tirai di samping kiriku.
Ibuku hanya menatapku sedih dan menunduk menatap buah apel yang sudah dipotongnya itu. Bapakku keluar dari ruangan dan tidak mengeluarkan sepatah katapun, bahkan padaku. Ibuku menyusulnya ke luar, dan aku mendengarkan sayup-sayup mereka menangis namun juga dengan berdebat. Ya, masih sama walaupun aku sudah putus asa atas hidupku. Mereka sama saja, entah aku mati atau tidak. Tapi aku tidak mau dipasang kateter lagi karena sakit, jadi cukup ini pertama dan terakhir kali aku melakukannya. Aku memejamkan mataku lagi sembari mendengarkan perdebatan lirih antara mereka berdua di luar tentangku dan tentang mereka sendiri.
YOU ARE READING
Perempuan Biasa
Short StoryBukan kisah menarik, hanya aku ingin menceritakan apa yang aku alami. Aku manusia biasa. Perempuan biasa.