Mengeksplorasi planet Gugura tidak semudah menemukan Beliung di Windara.
Gugura bukan planet yang terstruktur dalam sistem kepemerintahan monarki seperti Windara. Planet Gugura hampir tidak memiliki peradaban sipil. Artinya, tidak ada jejaring informasi, tidak ada komunikasi antar sektor, dan aku betul-betul clueless.
Gugura lebih mirip planet mati. Planet tong sampah. Melihat kondisi asli planet Gugura, aku langsung berpikir mereka membutuhkan robot pembersih seperti Wall-E. Planet ini isinya sampah-sampah. Ada berbagai macam sampah yang sukar didaur ulang, contohnya rongsokan besi. Jenis sampah semacam itu sulit terurai oleh tanah.
Aku datang ke sini sekalian mau menikmati pesona Icarus yang tak perlu dilihat melalui teleskop luar angkasa. Icarus dekat dengan Gugura, secara letak astronomi.
Penguraian sampah secara aerobik dan anaerobik mustahil terjadi karena tidak terpenuhinya aspek biodiversitas di planet Gugura, planet ini hanya terdiri dari udara tak sehat dan pasir. Tidak ada enzim dari mikroba sebagai mikroorganisme di dalam tanah serta perairan yang berfungsi mempercepat reaksi penguraian dari sampah menjadi senyawa atau unsur zat tak berbahaya. Jangankan membahas soal mikroba, unsur-unsur alam, seperti pohon, air, dan tahan gembur pun tidak ada.
Kalau aku tiba-tiba dilantik menjadi presiden planet ini, hal pertama yang ada di otak kampanyeku ialah memikirkan mengenai adsorben penjerap limbah logam berat.
"Jika kamu tidak tahu, ini planet dimana Retak'ka dulu tinggal dengan Hang Kasa." Kaizo mulai bercerita.
Beliung, sebagai seseorang yang disindir nama kakek moyangnya, lantas mendongak, sebab ia tertarik mendengarkan.
"Dan bagaimana caranya, seseorang di planet penuh tumpukan sampah tanpa peradaban ini, Retak'ka, dapat memperoleh power sphera Gamma?" Aku bertanya pada pembunuh ayahku. Aku bisa gila. Aku berbincang-bincang dengan pembunuh ayahku. Aku merinding.
Kaizo melirik pada sisi kanan area pijakkannya, "Dari hasil memulung."
Baik di sisi kiri maupun di sisi kanan tubuh kami, kami dikepung oleh gunungan-gunungan sampah anorganik. Ini seperti TPA, tapi dengan komposisi sampah besi-besian lebih banyak dari sampah pasarnya. Tidak ada telur busuk, gabus-gabus bekas pelindung alat elektronik, atau bahkan sampah sayur-sayuran. Planet Gugura menampung sampah ekstrem, seperti drum berlogo perusahaan nuklir dengan peringatan radiasi pengion baru, sampah infeksius dari limbah rumah sakit luar angkasa, sampah kapal luar angkasa rongsokan, dan sampah-sampah teknologi alien.
"Solar ada di sini. Kira-kira apa yang dia incar?" Aku bertanya balik.
Beliung menoleh padaku. Dia menerjemahkan gelagat penasaranku sebagai pentunjuk atas pertanyaan di kepalanya. Ya. Aku cukup yakin, selain karena disuruh ikut, Beliung sebetulnya tidak mengerti mengapa ia dibawa kemari.
Semula, aku menolak membawa Beliung, tapi Fang mengidekannya sebagai personil tambahan dalam menyusuri planet sebesar bumi ini. Aku setuju-setuju saja bila Fang sudah berorasi, dan lagi pula, idenya cemerlang.
Saat kami dibagi menjadi beberapa tim, aku terundi ikut masuk ke timnya Kaizo, bersama Jugglenaut dan Ying. Tapi Beliung tidak mau ikut ke tim Kapten Separo, karena Kapten Separo suka menyuruh-nyuruh, mulutnya kasar, dan Beliung bilang dia ingin mengikuti kemana istrinya pergi. Aku tidak tahu siapa yang dimaksudkannya dalam panggilan 'istri' itu.
Daripada ribut, Kaizo mengizinkan Beliung masuk ke timnya. Dan itu artinya, Ying dan Jugglenaut digeser ke tim lain yang lebih membutuhkan bantuan.
"Orang ini bernafsu menduduki tahta Windara." Aku melirik Beliung, mengejeknya sembari tetap berjalan lurus ke depan, mengekori komando Kaizo yang katanya mendeteksi adanya aliran magis dari radar di pesawat terbang kami. "Dan Solar? Apa ya, motifnya?"