7. Menghadapi Inner Child

758 145 39
                                    

Bulan ini, aku sibuk dengan acara-acara manggung di luar kota untuk pertama kalinya dalam karier bernyanyiku. Setiap jum'at sampai minggu aku sudah pasti nggak di Jakarta.

Alhasil, kontrak job lainnya, seperti syuting acara The Julid, syuting iklan, dan beberapa jadwal pemotretan harus disesuaikan lagi. Semuanya ditumpuk di hari senin sampai kamis.

Capeknya ada banget, tapi lebih banyak seru dan senengnya deh. Bisa ketemu temen-temen Titahku di kota-kota lain, dan nggak nyangka juga karena selain Titahku, ternyata banyak orang lain yang tahu aku dan hapal laguku.

Minggu lalu aku selesai dengan tiga kota di Jawa Timur. Surabaya, Sidoarjo, dan Malang. Minggu ini giliran tiga kota lain di Jogja dan Jawa Tengah, Jogjakarta, Solo, dan Semarang.

Untuk perjalanan kali ini, Bang Sabda memutuskan pisah denganku dan rombongan tim. Dia berangkat dari Jakarta lewat jalur darat, alias nyetir mobilnya sendiri. Terserah Bang Sabda saja, itu pilihannya untuk jauh lebih capek. Aku sih ogah, mending naik pesawat.

***

Jogja dan Solo sudah dilalui dengan sukses, ada satu hal sebenarnya yang membuatku nggak nyaman. Ini soal motivasi Bang Sabda bawa mobilnya sendiri selama off air di Jawa Tengah, malam itu selepas manggung di Solo dia memaksa mengantarku pulang ke Salatiga. "Ayo Ta, Gue anter pulang ke rumah bentar. Gue sengaja bawa mobil biar bisa nyempilin jadwal ke Salatiga."

Orang ini bener-bener semaunya sendiri, dia pikir tahu semua hal soal aku?

"Aku nggak mau pulang Bang, nggak usah tanya juga kenapa."

Dia mencecar soal tingkahku selama ini yang nggak pernah menelepon orang tua atau keluarga, membahasnya pun nggak. "Lo aneh Ta karena nggak pernah nelepon bokap atau nyokap Lo, nggak pernah bahas mereka padahal Gue tahu orangtua Lo masih hidup lengkap. Gue yang selalu ngurus paket-paket dari orangtua Lo selama ini. Lo nggak pernah mau buka, apalagi pakai isinya. Buku-buku sama vitamin dari orangtua Lo numpuk di kos Gue."

"Aku udah buang, kenapa Bang Sabda pungut?"

Bang Sabda terus mendesakku. "Kalau Lo ada masalah sama orangtua Lo, jangan kabur. Selesaiin."

"Ini urusanku Bang. Just back off."

Sampai pagi ini, saat kami semua sudah pindah kota ke Semarang, Bang Sabda masih terus menempeliku. Ocehannya terus mengganggu di sela-sela sesi GR.

Sorenya, sesaat setelah aku turun dari panggung Festival Kuliner Semarang-event yang mengundangku sebagai salah satu pengisi acaranya, Bang Sabda langsung mengekoriku sampai backstage. Dia memberi isyarat ke beberapa tim, lalu menarikku buru-buru jalan ke mobilnya.

"Makan di mobil aja ya." Sekotak nasi diletakkan di pangkuanku.

"Keras kepala banget sih Bang."

Dia menatapku dengan sorot tenang, "Lo masih dua puluh satu tahun Ta, jalan Lo masih panjang ke depan. Jangan nyimpen masalah dan kepahitan sendirian."

Hidupku nggak semenyedihkan itu kali. Bang Sabda pasti kaget kalau tahu aslinya gimana.

Sebenernya, kasian juga sih dari kemaren dia udah usaha banget. Bang Sabda selama ini juga selalu jadi satu-satunya orang yang perhatian ke aku. Sampai aku jadi sempet mikir aneh-aneh.

Tapi kayaknya dia ngelakuin karena tanggung jawab sebagai manajer aja sih. Nggak mungkin lebih.

Aku mengambil ponsel Bang Sabda yang ia letakkan di dashbor mobil. "Ini lokasi rumahku, aku nggak mau jadi navigator." Kuserahkan lagi ponsel yang sudah menunjukkan gmaps menuju alamat rumahku.

SABDA TITAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang