"Jangan libatkan kepolisian dulu, Dik," kata Mas Yis sambil meng-scoop es krim cokelat dengan tangan terampil.
Mackenzie dan Freya saling tatap bingung. "Kenapa, Mas? Bukannya jalan terbaik itu minta bantuan polisi?" tanya mereka dengan penuh keheranan.
Mas Yis menghela napas berat. Ia meletakkan dua mangkuk es krim di atas meja mereka. "Karena belum tentu polisi bakal ngerjain tugasnya dengan baik. Mending kita hindari mereka. Lagipula, Jiren bukan orang sembarangan," jelasnya, nada suaranya serius.
"Emangnya Jiren siapa, Mas?" tanya Freya sambil menyendok es krim cokelat ke mulutnya.
Mas Yis duduk di samping kursi Mackenzie, mendekat dan memastikan suaranya tak terdengar oleh pelanggan lain yang sedang mengantri. "Ayah Jiren itu punya 20% saham di sekolah kalian, SMP Flores," bisik Mas Yis dengan nada rahasia.
"HAH!?" teriak mereka berdua hampir bersamaan, terkejut dengan informasi tersebut.
Suara teriakan mereka cukup keras sehingga menarik perhatian pelanggan yang sedang mengantri, membayar, dan memilih rasa es krim. Semua mata tertuju pada meja nomor lima.
"Sttt... Diam dulu!" tegur Mas Yis dengan nada mendesak.
Freya dan Mackenzie langsung menutup mulut mereka rapat-rapat, wajah mereka memerah karena malu. "Jadi, kenapa Jiren tetap di-skors kalau ayahnya bisa aja menghapus hukuman itu?" tanya Mackenzie, berusaha memahami situasi.
Mas Yis menatap ke arah barisan pelanggan yang semakin panjang. "Akan ada sesuatu yang besar. Aku yakin Jiren sedang mempersiapkan sesuatu yang bikin masalah lebih rumit lagi," katanya sebelum ia harus kembali ke pekerjaan.
Freya dan Mackenzie saling bertukar tatapan bingung dan cemas. "Sesuatu yang besar?" ulang Freya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu dan sedikit takut.
***
Ibu Mackenzie sedang sibuk di dapur, memasak sup jagung yang harum. Aroma manis jagung dan kaldu daging memenuhi ruangan, membuat Mackenzie tidak sabar untuk segera menikmati hidangan malam itu. Ibu Mackenzie dengan cekatan menuangkan sup ke dalam mangkuk dan menatanya di atas meja makan. Suara sendok yang bergetar saat dia meletakkan mangkuk di meja menandakan bahwa waktu makan malam telah tiba.
Mackenzie, yang baru saja duduk di kursi, mengamati ibunya dengan penuh perhatian. Dengan nada penasaran, dia mulai bertanya, "Bu, bagaimana kalau aku minta bantuan polisi untuk kasus Jiren? Aku merasa agak bingung dan butuh pendapat tambahan."
Ibu Mackenzie menelan sesendok kuah sup jagung, dan setelah merasakan kelezatan sup, dia menatap anaknya dengan serius. "Nak, sebaiknya jangan dibawa ke kepolisian. Terkadang ada hal-hal yang lebih baik diselesaikan dengan cara lain. Ingat apa yang Mas Yis katakan padamu tentang situasi ini?"
Mackenzie mengangguk, mencoba mencerna nasihat ibunya. "Ya, Mas Yis juga bilang hal yang sama. Apakah itu artinya aku harus mencari solusi sendiri tanpa melibatkan pihak berwajib?"
Ibu Mackenzie mengangguk lembut. "Tepat sekali. Seperti yang Mas Yis bilang, ada kalanya kita perlu menyelesaikan masalah dengan kebijaksanaan kita sendiri."
Saat mereka berdua berbincang, pintu depan terbuka, dan Mercy, kakak perempuan Mackenzie dan Oes, memasuki rumah dengan ceria. "Hei, semua!" teriak Mercy sambil melepaskan jaketnya. Dia melangkah ke dapur dan duduk di kursi kosong di meja makan. "Aku datang tepat waktu untuk sup jagungnya, ya?"
Ibu Mackenzie tersenyum dan menyambut Mercy dengan hangat. "Tentu, Mercy. Satu mangkuk untukmu."
Mercy lalu mulai mengganggu Mackenzie dengan trik-trik isengnya. Dia mulai memindahkan sendok makan Mackenzie ke sisi lain meja atau berusaha menyentuh sup Mackenzie dari belakang tanpa diketahui. Mackenzie mencoba menahan tawanya, tetapi tidak bisa menghindar dari kelucuan Mercy.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
JugendliteraturSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...